Ketika gue mendengar lagu Pamungkas yang berjudul I love you but i’m letting go hal pertama yang terlintas di kepala gue adalah “bodoh”. Karena menurut gue, ketika lo mencintai seseorang lo akan melakukan apapun untuknya selain membiarkan dia pergi.
Pertama kali gue bertemu Jisoo adalah waktu gue duduk di bangku kelas 8 dan dia sudah menjadi anak SMA. Waktu itu gue sedang di warung depan sekolah Ican karena waktu itu gue bertugas untuk menjemput adik gue itu, secara tidak sengaja melihat ada seorang lelaki lengkap dengan seragam putih abu-abunya sedang memberi makan kucing liar dan ya sama seperti kisah yang sangat clichè– gue jatuh cinta pada pandangan pertama dengan lelaki tersebut. Tapi sayangnya pada waktu itu gue tidak mempunyai keberanian untuk mengajaknya berkenalan jadi gue diam-diam berdoa semoga gue dipertemukan kembali dengan lelaki manis itu.
Oke-oke, pertemuan kedua kami adalah saat gue menghadiri acara pensi sekolah yang ternyata adalah sekolah Jisoo. Gue yang saat itu datang karena dikasih tiket gratis dari Hyunjae– sahabat gue dari sejak kami berdua duduk di bangku sekolah dasar dan tentunya Hyunjae memaksa gue untuk datang karena dia sedang dalam masa ‘pendekatan’ dengan salah satu siswa di sekolah itu. Gue masih ingat waktu gue memutuskan untuk memisahkan diri dari Hyunjae dan gebetannya itu karena gue sudah malas melihat Hyunjae berpura-pura menjadi ‘kucing’ di depan gebetannya dan gue memilih untuk membeli minuman dingin di salah satu stand minuman yang ternyata milik osis sekolah tersebut. Mungkin kalian sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, ya betul Jisoo lah yang sedang menjaga stand minuman dingin tersebut. Percakapan kami kira-kira begini,
“Beli es tehnya 1 ya kak.”
“Kak? Gue masih kelas 10.” gue masih ingat raut bingung di wajahnya.
“Gue kelas 8.”
Jisoo membulatkan bibirnya, “oooooh, hehehe sorry kirain anak SMA sini.”
Gue tidak menjawab lagi dan hanya mengambil minuman dingin dan pergi dari stand minuman itu. Iya, gue bodoh karena tidak mengajaknya berkenalan tapi sumpah demi Tuhan sampai detik ini gue masih ingat wangi vanila yang tercium ketika gue berdiri di depannya dan membuat gue hampir gila. Pada waktu band sekolah SMA itu sedang tampil diatas panggung gue memilih untuk duduk di bawah pohon yang lumayan jauh dari panggung karena jujur saja gue sama sekali tidak tertarik dengan band yang berisikan anak SMA sok keren– yang gue tidak tau waktu itu adalah saat gue duduk di bangku SMA gue ternyata menjadi salah satu anggota band.
“Lo anak SMP yang tadi ya?” Betul sekali tebakan kalian, yang baru saja bertanya adalah Jisoo.
“Eh? Iya kak.” ini cukup memalukan, karena gue bisa mendengar suara gue yang seperti orang yang ketahuan mencuri.
“Sorry sorry, gue ngagetin ya?”
“Dikit.”
“Jadi lo disini ngapain? Nemenin kakak lo?” gue bisa mendengar nada sedikit sarkas dari mulutnya, (ketika gue berpacaran, gue sempat bertanya tentang hal ini kepada Jisoo dan dia menyanggah asumsi gue, “Aku gak sarkas ya! Aku beneran nanya!”)
“Gue anak pertama.”
“Hah?”
“Ya jadi gue gak mungkin nemenin kakak gue dong?”
“Oooh, gebetan?”
“Temen gue, dia ada gebetannya disini.”
“Oh ya? Siapa tuh?”
“Kepo deh lo kak.”
“Sorry sorry.”
Gue mulai menimang-nimang apakah gue harus mengajak lelaki yang berdiri disebelah gue ini untuk berkenalan atau tidak.
“Seokmin.”
“Hah?”
“Nama gue Seokmin, nama lo?”
“Oh ngajak kenalan?” Dia tertawa kecil, “Nama gue Jisoo.”
“Oke, kak Jisoo.”
“Oke Seokmin.”
Hening.
Kalau minta nomor handphone kecepetan gak ya? Apa nanti gue kesannya kayak bocah ingusan yang pengen deketin anak SMA? Ah bodo amat sama pikiran dia.
“Gue boleh minta nomor hp lo gak?”
“Lo naksir gue ya?”
Dih?
“Lo kali yang naksir gue kak?”
Jisoo tertawa kecil, “No hahaha, tapi lo sedikit menarik perhatian gue sih.”
Gue cukup terkejut dengan ucapan yang keluar dari seseorang yang baru banget gue kenal.
“Oke? Jadi nomer lo berapa?”
Dari situlah gue mulai melancarkan aksi pedekate gue, ya tentunya enggak semulus itu sih apalagi gue harus bertemu dengan kedua orang tuanya dan mereka memandang gue seperti anak SD. Butuh beberapa waktu untuk gue akhirnya bisa menjadi pacar Jisoo dan butuh waktu yang sangat lama untuk gue membuktikan ke orang tua Jisoo kalau gue bisa diandalkan.
Hubungan gue dan Jisoo berjalan mulus, sangat mulus. Kami jarang bertengkar. Masa-masa gue berpacaran dengan Jisoo adalah masa-masa paling indah di hidup gue.
“Mama cariin kamu tau, Seok.”
“Eh kenapa? Aku buat salah kak?”
“Kamu semenjak masuk futsal jarang ke rumah tau, mama kira kita putus.”
“Nanti aku kerumah ya.”
Entah sejak kapan, gue mulai dekat dengan keluarga pacar gue itu. Malah gue lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga Jisoo dibandingkan keluarga gue sendiri. Alasannya karena gue suka dengan suasana hangat di rumah Jisoo, gue nyaman dengan keluarga Jisoo yang sangat harmonis dan sangat berbeda dengan keluarga gue.
“A, Ayah di rumah. Ican harus gimana?” SMS yang masuk di handphone gue tiap kali lelaki tua itu pulang ke rumah.
“A, Ibu ditonjokin Ayah, a Ican udah halangin Ayah tapi A Ican malah kena tonjok, Nu takut. Aa dimana?” SMS lain yang membuat gue marah membacanya.
Tiap kali lelaki tua itu pulang, akan ada memar di badan gue, Ican bahkan Ibu. Gue bahkan tidak sudi memanggilnya dengan sebutan “Ayah”, bagi gue dia tidak pantas mendapat panggilan “Ayah”.
Tentunya Jisoo tidak pernah tau tentang keluarga gue yang sangat berantakan ini, gue menutup rapat-rapat hal ini dari dia yang gue sayangi itu. Bukan, bukan karena gue tidak percaya dengan Jisoo tapi karena gue sudah mengenal dia luar dalam dan gue tau kalau gue cerita tentang ini ke Jisoo, dia akan membantu gue dan gue gak mau merepotkannya dengan urusan keluarga gue.
Puncaknya adalah ketika lelaki tua itu ditangkap oleh polisi dengan kasus narkoba–bukan, dia bukan pemakai melainkan bandar. Gue sama sekali tidak paham, bukannya kalau bandar seharusnya dia memiliki banyak uang? Kenapa dia tidak pernah memberikan kami sepeserpun? Untuk apa uangnya? Judi? Mabuk-mabukan? Gue tau lelaki tua ini bekerja sesuka hatinya dan Ibu lah yang mencari uang untuk anak-anaknya sekolah tapi menjadi bandar narkoba adalah hal yang tidak pernah terpikirkan di otak gue.
“Je, sorry banget boleh gak malem ini Sunwoo tidur di rumah lo dulu?”
“Eh? Kenapa Seok? Boleh aja sih, nanti gue jemput Eric ke sekolah sekalian aja ya Sunwoo gue bawa ke rumah.”
“Makasih banyak Je, pusing banget gue.”
“Kenapa Seok?”
“Bandar.”
“Hah?”
“Ada polisi di rumah cari bokap gue, dia ternyata bandar. Anjing lah.”
“Lo gapapa? Ican nginep sini aja, nanti dia pulang gue jemput.”
“Gak usah, gue udah suruh dia nginep rumah temennya. Titip Sunwoo ya, nanti gue anter bajunya ke rumah lo. Maaf ngerepotin ya Je.”
“Enggak repot kok, lo jaga diri ya Seok. Jagain Ibu tuh, kalo ada apa-apa telpon gue.”
“Iya, thanks ya Je.”
Malam itu ketika lelaki tua ditangkap, Ibu menangis semaleman dan gue ikut menangis disebelahnya–tentunya bukan karena gue sedih dia ditangkap melainkan karena gue melihat Ibu menangis menyalahkan dirinya sendiri.
“Gapapa bu, Ibu masih punya Seokmin. Maafin Seokmin ya bu.”
Awalnya gue tidak mau memberitahu kejadian malam itu ke adik-adik gue tetapi disatu sisi gue merasa bahwa tidak adil kalau mereka tidak tau yang sebenarnya. Jadi 2 hari setelah mereka menginap di rumah temannya, mereka memaksa gue untuk mengizinkan mereka pulang ke rumah dan saat itulah gue menceritakan kejadian malam itu kepada kedua adik gue.
“A, lo harusnya gak usir gue sama Sunwoo. Harusnya gue disini sama lo, sama Ibu.”
“A maafin Nu ya, Nu gak tau aa harus ngelewatin ini semua sendirian.”
Malam itu kami bertiga berpelukan dan menangis sepanjang malam.
Gue kira masalah gue berhenti sampai situ. Melalui persidangan, lelaki tua itu dikenakan denda ratusan juta rupiah. Uang darimana? Dia bahkan tidak mempunyai tabungan barang sepeserpun. Ibu mulai mencari pinjaman, gue memutar otak bagaimana caranya mendapat ratusan juta dalam satu waktu? Pesugihan? Mana mungkin.
“A, kalau Ibu jual rumah ini gimana?”
“Kita tinggal dimana bu?”
“Ngontrak gapapa ya a? Kita cari kontrakan yang gak jauh dari sekolah kamu sama adik-adik.”
Mungkin ini adalah langkah yang tepat, selain kami bisa mendapat uang yang lumayan banyak dari menjual rumah kami juga dapat meninggalkan banyak memori menyakitkan yang ada di rumah ini.
“Iya bu, Aa bantu cari kontrakan ya? Kita gak usah cerita ke Ican sama Nu dulu, Aa bantu kerja ya bu.”
Gue sibuk mencari uang sepulang sekolah dan menjemput adik-adik gue di sekolahnya sebelum pulang ke kontrakan kami yang jaraknya cukup jauh. Gue sibuk dengan keluarga sampai gue lupa bahwa gue memiliki Jisoo di hidup gue.
“Kak, kita putus aja ya?”
Itu adalah kalimat pertama yang gue keluarkan setelah kami tidak bertemu beberapa bulan belakangan.
“Gila ya lo Seok?”
“Kak, gue gak bisa bagi waktu. Hidup gue lagi berantakan kak.”
“Justru itu Seok, hidup lo lagi berantakan dan gue sebagai pacar lo gak tau sama sekali tentang itu? Sampai sekarang pun lo gak mau cerita, pacar lo itu gue atau Hyunjae sih?”
“Gue gak mau narik lo ke dalam masalah gue, itu kenapa gue gak pernah cerita ke lo. Udah ya kak, lo belajar yang bener biar masuk kuliah di tempat impian lo.”
“Lo jahat asli.”
“Iya tau kok, jaga diri ya kak? Jangan telat makan.” Ucap gue dan itu adalah hari terakhir gue bertemu dengannya.
Seperti kalimat dari buku yang pernah gue baca,
Of all the things I have done in the name of love, walking away from you was the most loving thing that I did. For the both of us.
Karena gue sangat menyayangi Jisoo, gue tidak mau menarik dia kedalam kesedihan gue. Gue hanya ingin membuatnya senang dan melihat dia tertawa. Itu saja.