POV Wooseok.

Gue mengenal dengan Seokmin jauh sebelum Jisoo mengenal Seokmin. Gue mengenal Seokmin sejak gue dan dia duduk di bangku SMA, waktu itu gue adalah siswa yang duduk di bangku kelas 11 sementara Seokmin adalah siswa kelas 10. Perkenalan gue dan Seokmin bisa dibilang cukup unik, yaitu gue secara tidak sengaja memergokinya sedang tidur di perpustakaan saat jam pelajaran keempat dan sejak saat itulah Seokmin sering menyapa gue jika kita secara tidak sengaja bertemu di perpustakaan atau sudut-sudut lain di sekolah, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk meminta nomor telfon gue dan mengajak gue untuk pulang bersama. Hubungan kami semakin dekat semenjak saat itu dan ya seperti kisah semasa SMA kami akhirnya menjalin hubungan lebih dari teman dan selama kami berpacaran, kami tidak pernah bertengkar karena hal serius, pertengkaran kami hanya sebatas kami akan makan dimana, menonton film apa, kenapa tidak memberi kabar seharian, cemburu tidak jelas dan sebagainya. Sampai akhirnya gue lulus SMA, gue dan Seokmin sudah tahu sejak lama kalau gue akan melanjutkan studi gue ke luar negeri karena permintaan dari orang tua gue—lebih tepatnya paksaan karena mereka mau gue lah yang menjadi penerus perusahaan milik mereka.

“Jadi kita putus, Cing?”

“Ya kamunya gak mau coba jalanin dulu?”

“Ah aku tuh gak bisa ldr tau, Cing.”

“Kan belum dicoba, Seok?”

“Cing, kalau putus tetep temenan kan? Jangan ngejauh.”

“Iya tetep temenan lah, kan putusnya baik-baik?”

“Cing disini aja.”

“Lo lawan orang tua gue ya, Seok?”

“Anjing, gue mana punya power buat lawan mereka?”

“Ya sama?”

“Cing.”

“Seok, gue gampar ya.”

“Yaudah, udahan nih? Kelar? Gak ada hubungan lagi?”

“Iya, udahan, kelar tapi masih ada hubungan pertemanan.”

“Tai lah temenan doang sama lo mana cukup.”

“Gak usah lebay, mending lo sekolah yang bener terus kuliah yang serius siapa tau lo bisa susul gue di luar negeri?”

“Iyee, tunggu gue sukses ya Cing. Inget, jangan ganti nomer, bales message gue di facebook, jangan lupain gue.”

“Lebay deh kaya gue mau kemana aja.”

Dan disitulah cerita gue dan Seokmin berakhir.

Tapi buat gue semuanya tidak pernah benar-benar berakhir. Gue sering menangis tiap malam karena menyesal atas keputusan gue untuk mengikuti perintah orang tua dan harus mengakhiri hubungan dengan lelaki yang sangat gue sayangi.

Walaupun terpisah jarak dan perbedaan waktu yang sangat jauh, kami masih sering bertukar pesan. Dan gue tidak berbohong kalau gue diam-diam berharap kami akan kembali bersama nantinya. Sampai satu waktu yang menyadarkan gue kalau kisah kami sudah benar-benar selesai, waktu itu Seokmin menelfon gue tengah malam dan gue tau ada hal baik yang akan dia ceritakan malam itu karena dia dengan nada yang sangat ceria menyapa gue diujung sana.

“CINGG!!! GUE JADIAN SAMA KAK JISOO! GILA SENENG BANGET. BERKAT LO JUGA NIH, MAKASIH BANYAK YA SAYANGKU.”

Hong Jisoo sialan.

Ya mana mungkin gue membalas dengan umpatan kepada lelaki diseberang sana?

Dengan nada yang tidak kalah ceria gue membalas ucapan Seokmin, “Wah selamat ya, Seok. Gak galau lagi deh lo, traktir dong.”

Dan malam itu lagi-lagi gue menangis.

Tidak ada yang berubah semenjak Seokmin memiliki kekasih, kami masih sering bertukar pesan dan tidak jarang pula kami menelfon satu sama lain. Seokmin bilang kepada gue waktu itu, “Ya gimana Cing? Lo kan safe place gue, kalo gak ada lo, gue harus gimana?”

Bisa dibilang, Seokmin adalah orang pertama yang akan gue hubungin kalau gue mengalami kesulitan atau musibah karena gue tau dia akan datang menemui gue saat itu juga dan begitu juga sebaliknya. Gue adalah orang pertama yang akan dia hubungi kalau dia sedang dalam kesulitan seperti malam itu.

“Cing? Lo bisa kesini sekarang?”

“Seok, for your information disini jam 3 pagi dan gue belum pesen tiket buat terbang kesana.”

“Wooseok, gue butuh lo.” Gue bisa mendengar sedesperate apa lelaki diseberang sana.

“Hey, is everything okay?”

“Wooseok, gue hamilin anak orang.”

“Hah? Jisoo gak bisa hamil ya nyet, jangan prank gue.”

“Bukan Jisoo.”

“ANJING.”

“Wooseok, please kesini sekarang. Gue mohon.”

Dengan berakhirnya percakapan di telpon itu, gue tanpa pikir panjang langsung memesan tiket penerbangan jam pertama untuk ke Indonesia dan langsung ke bandara saat itu juga. Gue lah orang pertama yang mengetahui cerita Seokmin dengan perempuan bernama “Kim” dan gue lah orang pertama yang menemani Seokmin untuk menemui Sunwoo. Jangan salah paham, gue tidak merasa senang dengan masalah yang menghampiri Seokmin dan bisa saja membuat hubungan Seokmin dan suaminya–Jisoo berakhir buruk.

“Cing, lo percaya ini anak gue?”

“Mirip sih.”

“Darimananya?”

“Ya lo liat aja sendiri.”

“Namanya Sunwoo, lucu ya.”

“Lo mau urus anak ini kan, Seok?”

“Gue gatau.”

“Jangan bego deh.”

“Cing, kalo gue bawa anak ini dan cerita semuanya ke Jisoo, apa menurut lo Jisoo gak akan ninggalin gue?”

“Ya gak tau, kata lo dia orang baik kan? Percaya sama gue dia pasti nerima masa lalu lo dan anak lo kok.”

“Apa gue bohong aja ya?”

“Dan memperkeruh suasana, Seok?”

“Kok gitu?”

“Kalau lo bohong percuma, ujung-ujungnya ketauan juga dan malah memperkeruh suasana. Iya kan? Mending lo jujur sama dia sekarang, lebih baik dia tau dari mulut lo daripada tau dari orang lain.”

“Gue pikirin lagi.”

Dan gue tau dia akan mengulur waktu sampai akhirnya Jisoo sendiri yang mengetahui fakta tersebut.

“Cing, gue cerai.”

Seokmin menangis di lutut gue dengan rambut yang berantakan, baju yang tidak nyambung dengan celananya. Seokmin berantakan.

“Makan dulu Seok, gue yang suapin Sunwoo.”

“Cing, dia pergi.”

“Iya gue tau, makan dulu ya?”

“Gue gak bisa hidup tanpa Jisoo.”

Yang Seokmin tidak tahu adalah bahwa gue juga tidak bisa hidup tanpanya.

“Iya, makan dulu ya. Nanti kita cari tau Jisoo kemana.”

Sampai akhirnya gue harus pulang ke Amerika karena pekerjaan gue yang tidak bisa ditinggal dan membuat hubungan gue dan Seokmin merenggang. Gue bertemu dengan lelaki lain disini, namanya Evan dan yang gue tau Seokmin juga menjalin hubungan dengan Jihoon, lelaki bertubuh kecil yang sangat menggemaskan.

Sekarang gue sedang duduk sudut cafe, menunggu lelaki yang sering kali diam-diam gue caci maki. Hong Jisoo.

“Hey, Wooseok right?”

“Iya, duduk aja.”

Jisoo menarik bangku didepan gue dan langsung duduk, gue bisa lihat betapa gugupnya lelaki didepan gue.

“Akhirnya kita ketemu ya, Jisoo. Gue sering denger cerita tentang lo dari Seokmin.”

“Oh ya? Gue juga sering denger cerita tentang lo.”

“Dari siapa? Seokmin atau Seungwoo?”

“Dua-duanya.”

“Well, gue harap itu cerita baik. Anyway, gue gak mau basa-basi. Lo mau nikah sama Seungwoo atau balikan sama Seokmin?”

Jisoo terlihat terkejut dengan pertanyan gue barusan tetapi dia berusaha untuk terlihat tenang.

“Seungwoo.”

“Okay.”

“Wooseok, gue boleh tanya sama lo?”

“Apa?”

“Kenapa hubungan lo sama Seokmin bisa berhasil? Sedangkan gue sama dia gak bisa berhasil?”

Gue tertawa miris, “Berhasil gimana? Kalo berhasil, lo sama dia gak akan pernah ada hubungan.”

“Ya gue tau itu, tapi bukannya hubungan kalian berakhir bukan karena sama-sama mau kan? Tapi karena keadaan?”

“Iya.”

“Jadi, yang salah di hubungan gue dan Seokmin itu apa? Apa yang lo punya dan gue enggak?”

“Yang salah dari hubungan kalian itu komunikasi, Jisoo.”

“Komunikasi?”

“Iya.”

Gue menyenderkan tubuh gue kedepan, “lo sama Seokmin itu komunikasinya jelek.”

“Gue rasa kita baik-baik aja?”

“Yakin? Coba inget-inget deh waktu lo pacaran sampe lo nikah dan cerai, berapa kali kalian bertengkar cuma karena salah paham?”

Jisoo diam.

“Gue kasih satu contoh deh, waktu kalian lagi persiapan nikah lo tau gak kalau Seokmin itu hampir nyerah karena kalian selalu gak sependapat? Waktu itu gue yakin lo juga stress tapi gak mau bilang kan? Dari situ aja udah salah dan lo berdua yakin banget mau nikah.”

“Kok lo tau dia stress?”

“Dia cerita ke gue.”

“Wooseok, apa lagi hal yang lo tau tapi gue gak tau tentang Seokmin?”

“Hmmm..” Gue mencoba menghitung dan mengira-ngira informasi apa yang Seokmin ceritakan ke gue tetapi tidak kepada lelaki didepan gue ini.

“Banyak.”

“Apa?”

“Waktu lo berantem dan lo ada urusan bisnis di luar kota, lo tau enggak dia sakit dan dirawat di rumah sakit? Sementara lo disana juga gak cerita kan kalo lo “ketemu” sama cowok lain disana?”

Jisoo terkejut dengan ucapan gue mengenai hubungannya dengan lelaki lain selain Seokmin, “Lo tau darimana? Tentang cowok lain itu?”

“Cowok itu Jisoo, cowok yang lo ajak tidur bareng malam itu punya tunangan Jisoo. Tunangannya itu gue.”

“Wooseok, gue minta maaf.”

“Sampai kapanpun gue gak akan bisa maafin lo. Lo yang buat Hyungwon mengakhiri rencana pernikahan gue dan dia. Lo juga yang buat Seokmin hampir bunuh diri.”

“Seokmin? Lo bohong kan?”

“Buat apa gue bohong? Buat bikin lo merasa kasihan sama dia dan buat kalian balikan? NO.”

“Wooseok, gue beneran gatau.”

Gue bisa melihat Jisoo menangis didepan gue dan gue tidak merasa bersalah sama sekali.

“Gue gak pernah memohon kepada orang lain sebelumnya, tapi Jisoo gue mohon sama lo jaga jarak ke Seokmin, jangan buat dia berpikir kalau kalian ada harapan untuk bareng-bareng lagi kalau lo sendiri gak ada pikiran kesana. Gue akan bantu ngomong ke orang tuanya Seungwoo biar lo diterima sama mereka dan please bantu gue dengan jaga jarak ke Seokmin.”

“Gue harus apa, Wooseok? Lo dijodohin sama dia kan?”

“Gue menolak perjodohan itu dan jangan kegeeran dulu gue ngelakuin itu karena kemauan gue bukan karena mau bantu lo.”

“Wooseok, gue masih mau ketemu Sunwoo.”

“Gue gak pernah ngelarang lo ketemu Sunwoo kan? Gue cuma minta lo untuk jaga jarak ke Seokmin, jangan kasih harapan apapun ke dia. Bukan minta lo untuk gak ketemu sama Sunwoo.”

“Gue titip Seokmin ya?”

“Titip? Lo tau kan titip artinya 'barang' itu milik lo, sedangkan Seokmin bukan milik lo. Mungkin kata yang tepat adalah lo relain Seokmin, untuk kebahagiaan Seokmin sendiri kok bukan untuk kebahagiaan gue.”

“Wooseok, lo orang baik begitu juga dengan Seokmin. Gue harap apapun ending cerita kalian nantinya, kalian harus bahagia ya?”

“Iya. Thank you ya, Soo. Besok gue ketemu sama mami papinya Seungwoo dan bakal bantu lo untuk diterima sama mereka.”

“Makasih banyak ya, Wooseok.”