Sekarang pukul 2 pagi dan gue berdiri di depan pintu rumah menunggu Chanhee menjemput gue dan kali ini gue menggunakan baju hitam dan celana hitam yang gue sembarang ambil entah motif atau ada tulisan apa di baju ini gue gak peduli, gue hanya ingin cepat sampai ke rumah Seokmin.
Tiiin
“Kak, ayo.”
Gue baru saja meninggalkan rumah Seokmin mungkin 6-7 jam yang lalu, setelah gue berpamitan ke ibu dan adik Seokmin malam itu. Sekarang gue disini lagi, bukan untuk memasak dan bercanda bersama ibu seperti tadi siang ataupun menemani Seokmin mengambil baju futsal seperti beberapa hari lalu.
Gue melihat sekeliling rumah, ada bendera kuning dimana-mana. Banyak orang berlalu lalang yang entah gue pun tidak kenal mereka siapa. Gue berharap ada Seokmin diantara puluhan orang yang ada disekitar gue sekarang.
“Kak, ibu di dalem. Ayo gue anter.” Hyunjae menarik tangan gue dengan pelan dan Chanhee yang tidak berhenti mengelus punggung gue.
Begitu gue menginjakkan kaki di dalam rumah, gue dapat melihat Sunwoo dan Ican yang duduk disamping Ibu, keduanya menangis dengan memeluk Ibu. Ibu menangis diantara kedua anaknya dengan tangan mengelus punggung Sunwoo dan Ican–menyalurkan kehangatan yang gue yakini sangat mereka butuhkan sekarang.
Gue berjalan pelan dan duduk di depan Ibu, “Ibu, maaf.”
Ibu tersenyum dan mengajak gue kedalam pelukannya, “Gak perlu minta maaf, nak. Bukan salah kamu.”
Gue hanya menangis di pelukan Ibu, bersama kedua adiknya. Ibu di tengah kami terus mengucapkan “Ikhlas nak, ikhlas.” Yang sangat gue yakini bahwa Ibu mengucapkan itu juga bentuk penguatan untuk dirinya sendiri.
“Ibu, Aa udah gak ada bu, Ican harus gimana bu?”
“Bu, dada Sunwoo sakit.”
“Doain Aa ya, Ican, Nu?”
“Jisoo, maafin Seokmin ya nak kalau ada salah. Ikhlasin ya nak?”
Gue hanya mengangguk ditengah pelukan Ibu, gue tidak punya energi untuk mengeluarkan sepatah katapun.
Setelah melepaskan pelukan, gue berniat mencari Hyunjae dan mendengar cerita bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini.
“Tadi gue ditelfon bang Bobby kak. Sekitar jam 1an, dia bilang Seokmin udah hilang dari pukul 11 malem dan emang dia langsung cari bala bantuan. Pencarian juga dilakuin sekitar kurang lebih 2 atau 3 jam. Begitu tubuh Seokmin ketemu, mereka bilang ke bang Bobby kalau Seokmin udah gak bernyawa. Kemungkinan besar jatuh. Bang Bobby bilang Seokmin yang maksa buat cari air tengah malem gitu. Bang Bobby dan Seokmin udah di perjalanan daritadi kok. Mungkin jam 8/9 mereka sampai disini.”
Oh God.
Gue tidak siap melihat tubuh Seokmin yang terbaring kaku. Gue tidak tau harus apa sekarang.
“Ikhlasin ya, kak.”
Gue hanya duduk disana, ditengah orang-orang yang berlalu lalang mempersiapkan apapun itu. Gue bahkan tidak punya kekuatan untuk berdiri.
“Jisoo, lo gapapa?” Jeonghan berlari dan menarik gue kedalam pelukannya.
“Ikhlasin ya, Soo.” Cheol memeluk gue.
“Kak, gue tau susah buat ikhlas. Tapi usahain ya kak? Banyak berdoa buat Seokmin.” Ucap Wonwoo.
Gue hanya mengangguk pelan.
“Udah makan?” Tanya Jeonghan dan gue menggelengkan kepala sebagai jawabannya.
“Gue beliin bubur ya?”
“Gak laper.”
“Makan, Soo. Lo mau nganter Seokmin ke tempat terakhirnya kan? Makan dulu.”
Gue menggeleng setelah mendengar ucapan Seungcheol, “Gak nafsu, Cheol.”
“Gue suapin. Ayo 3 suap aja.” Jeonghan menyendokkan nasi kotak yang memang disediakan disini.
“Jam berapa?”
“Jam 8. Bentar lagi, Soo.”
Gue melihat sekeliling, ada teman SMA Seokmin yang kemarin gue temui. Ada Mingyu dan Minghao juga diujung sana.
“Seokmin, kamu disayang banyak orang.”
Gue dapat melihat Hyunjae yang mengobrol dengan lelaki tua didepan pagar. Hyunjae menghalangi badan lelaki itu untuk masuk.
“Saya udah bilang, bapak gak boleh masuk. Paham gak?” Suara Hyunjae meninggi.
“Saya bapaknya Seokmin! Memang salah kalau saya mau ketemu anak saya?”
“Gak salah. Tapi permintaan keluarga dan Seokmin untuk melarang bapak masuk selangkah pun ke rumah ini! Pergi sekarang atau saya seret anda keluar!” Hyunjae membentak Ayah Seokmin.
“Je, udah.” Chanhee disebelahnya menahan Hyunjae untuk tidak tersulut emosi. Dan gue bisa melihat beberapa teman SMA Seokmin menarik Ayah Seokmin untuk pergi dari rumah ini.
Dan tepat pukul 9, Bobby datang dengan mobil ambulans. Gue mencoba untuk berdiri. Rasanya kaki seperti jelly bahkan gue tidak sanggup untuk melihat lurus kedepan.
Setelah berbagai macam acara, akhirnya Seokmin ditaruh di peti.
Gue ingin melihat Seokmin untuk terakhir kalinya.
“Gue pegangin. Ayo gue anter ke Seokmin.” Jeonghan memapah gue dan mengantar gue ke samping peti.
Gue melihat Seokmin yang tersenyum, senyum menenangkan yang menyiratkan bahwa ia tenang disana.
“Seokmin, kamu janji mau ajak aku keliling kota, ke tempat yang kita sering kunjungin dulu. Kamu juga janji mau ngomong serius kan ke aku. Mana Seokmin janjinya?”
Gue menarik nafas, air mata terus turun.
“Kemarin aku belajar masak sama Ibu, aku belajar masak Soto Betawi kesukaan kamu. Kamu belum cobain kan? Bangun, Seok. Aku mohon.”
“Jangan tinggalin aku, aku harus apa sekarang gak ada kamu, Seok?”
1 weeks later
Lagi-lagi gue disini, di makam Seokmin. Setiap hari semenjak Seokmin dimakamkan, gue tidak pernah absen untuk datang kesini. Kadang gue bercerita tentang hari yang gue lalui tapi gue lebih banyak diam, mendoakan orang yang paling gue sayang.
“Aku bawain ropang, eh apa rotpang? Roti panggang lah pokoknya kesukaan kamu, tapi gak beli di warkop biasa sih kali ini aku yang bikin hehehe.”
“Kemarin aku ke rumah tauu, masak-masak sama Ibu. Kamu iri kan pasti?”
Angin sejuk berhembus dan gue yakin Seokmin ada disini, mendengarkan cerita gue.
“Aku kangen Seok. Kangen banget.” Kali ini anginnya cukup kencang, membuat rambut gue cukup berantakan. Mungkin Seokmin yang mengacak rambut gue?
“Besok aku kesini lagi yaaaa, bawa apa nih enaknya? Oh aku tau! Bawa nasi goreng yang aku masak ah, kan kamu udah coba tuh waktu di apart aku. Nanti aku bawain lagi yaaaa. Kamu yang tenang disana. Aku disini baik-baik aja. Ibu, Ican, Sunwoo semua lagi berusaha pulih lagi tapi jangan khawatir, aku bakal bantu mereka kok. Hyunjae jugaaa sering ke rumah kamu, biasanya bareng Eric tuh sekalian Sunwoo pacaran. Adek kamu genit ya.”
“Aku pamit ya, Seokmin. Dadah.”