heavenspile

“Mau makan kemana kita?”

“Tamelo yuk?”

Seokmin membuka kaca helmnya, “Buset banyak uang nih?”

Jisoo tertawa mendengar ucapan Seokmin, “Tamelo masih mahasiswa friendly ya harganya.”

“Oke kalo begitu kita meluncurrr!”

Jisoo tersenyum tipis melihat bagaimana Seokmin memperlakukan dirinya, mulai dari melepaskan helm dari kepalanya dilanjutkan dengan mengelus rambut Jisoo dengan alasan “rambut lo berantakan banget deh.” Sampai dimana Seokmin membukakan pintu cafe dan menarik kursi agar Jisoo bisa duduk dengan nyaman.

Act of service ya Seok?”

Seokmin yang sedang melihat-lihat menu–atau lebih tepatnya melihat harga makanan yang lumayan menguras kantong langsung menatap mata Jisoo, “apanya?”

Love language lo?”

“Kok tau? Kalo lo apa?”

“Keliatan sih, kalo gue quality time dan words of affirmation

“Oh suka dipuji-puji ya kak?”

Jisoo memutar kedua bola matanya, “diapresiasi, Seok.”

“Noted, kak.” Ujar Seokmin dengan tertawa, “Mau pesen apa?”

“Chicken Cordon Blue aja deh, minumnya samain sama lo.”

“Oke.”

Seokmin memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan mereka dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya.

“Bahagia banget, ada apa nih?”

“Hah? Gue kak?”

“Iyalah.”

“Gak ada sih, cuma lagi pengen senyum aja.”

“Okedeh kalo lo gak mau cerita.”

“Beneran kak.” Seokmin menatap Jisoo dengan tatapan ayo-percaya-sama-gue.

“Oh iya kak, udah lama banget ya kita gak makan berdua gini.”

“Lah kan sering?”

Jisoo heran, pasalnya kemarin malam dia dan Seokmin makan berdua di kamar kosnya. Dua hari lalu mereka sarapan bersama di kamar kos Seokmin.

“Maksudnya diluar gini, biasanya kan di kos.”

“Oh iyaya? Makanya ajak gue dong, jangan ajak Han mulu.”

Oh mungkin ini akan terdengar seperti Jisoo cemburu. Tapi masalahnya, beberapa minggu belakangan ini Seokmin lebih sering makan diluar dengan Jeonghan ketimbang dengan dirinya. Wajar saja jika Jisoo merasa kalau Seokmin meninggalkannya.

“Yee lo nya pacaran mulu sih.”

“Mana ada, gue aja kemana-mana sama Han, lo nyulik Han dari gue tau!”

“Iye maaf maaf, nanti gue ajak lo deh.”

“Nah gitu dong. Sebelum ajak Han tanya gue dulu gue bisa apa enggak.”

“Iya ganteng, anything for you dah pokoknya kaya iklan.”

“Gimana minggunya kak?” Tanya Seokmin sesampainya mereka di warung bakso dekat kos mereka.

“Hmmm biasa aja, maksudnya ya gitu-gitu aja. Rutinitas gue paling kos terus kampus terus apart Han, ya jauh-jauh ke apart temen gue yang lain.”

“Emang punya temen selain Kak Han sama Bang Cheol?”

Jisoo memutarkan bolamatanya, “Ih ya ada lah.”

“Cowo lo kan?”

Jisoo tidak menjawab pertanyaan Seokmin dan memilih untuk tertawa.

“A Seokmin biasanya kesini sama temennya yang kurus.” Ujar Mang Asep—Bapak pemilik warung bakso.

“Oh iya, lagi gak bisa mang. Ini juga temen saya namanya Jisoo.”

Mang Asep melihat wajah Jisoo dan tersenyum, “Walah ganteng ya A?”

“Iya dong, tapi tetep gantengan saya kan mang?”

“Iya lah, kan kamu pelanggan tetap.”

“Bisa aja mang, makasih ya.”

“Sama-sama, dimakan ya.”

Jisoo melihat bagaimana Seokmin berinteraksi dengan Bapak penjual bakso—terlihat manis. Seokmin selalu seperti ini, tidak malu untuk mengajak siapapun berbicara berbeda dengan dirinya yang akan berbicara jika diajak terlebih dahulu.

“Tau gak kak? Mang Asep punya istri dua loh.” Seokmin mencodongkan badannya dan berbisik pelan.

“Hah? Kok tau?”

“Mang Asep cerita, satu disini satu di kampung.”

“Ih kok bisa ya?”

“Bisa lah, mang Asep cakep.” Ucap Seokmin sambil mengacungkan jempolnya.

“Gue juga bisa dong?”

“Apa?”

“Punya pasangan dua?”

Seokmin mengerutkan keningnya, “Kenapa gitu kak?”

“Soalnya gue cakep.”

Seokmin tertawa mendengar ucapan Jisoo, “iya boleh, mau dua tiga kek terserah lo dah kak.”

“Soalnya gue cakep?”

“Soalnya lo paling cakep sedunia.”

“Emang lo pernah keliling dunia, Seok?”

“Lah dunia gue kan muter di lo doang.”

Kalau ditanya bagaimana perasaan Seokmin sekarang maka Seokmin akan berteriak sekencang-kencangnya dan menjawab sangat bahagia. Hanya karena makan jalan kaki berdua dari kosnya ke pertigaan untuk makan nasi goreng favorite Jisoo, Seokmin yakin dia akan tidur nyenyak malam ini.

“Lo gak bilang sih kalau gak bawa jaket.”

“Ye males gue tuh naik keatas buat ambil jaket.”

“Lah kan tadi lo naik ketas naro sushi?”

“Iya terus turun lagi mau beli nasi goreng tapi takut jalan sendirian.”

“Pantesan ajak gue, kalau gak takut jalan sendirian kan?”

Jisoo tersenyum tipis, “tetep ajak lo sih.”

Seokmin diam-diam ikut tersenyum mendengar jawaban lelaki didepannya.

“Ini tuh nasi goreng enak banget.”

“Lebih enak dari masakan gue kak?”

“Masakan lo jaman SMA?” Jisoo tertawa, “Jauh laah.” Lanjutnya.

“Yeee lo belom coba nasi goreng buatan gue versi tahun ini kan? Cobain makanya, lebih enak dari ini. Chef Renata aja belajar dari gue.”

Jisoo tertawa kencang, “Sumpah ih lo tuh lucunya gak berubah.”

Seokmin tersenyum lebar, “Iyalah, gak ada yang berubah dari gue kali.”

“Right, lo tetep baik dan lucu.”

“Terima kasih pujiannya, Kak Jisoo.”

“Kalo gue gimana Seok?”

“Apanya?”

“Ada yang berubah gak dari gue?”

Seokmin berpikir sebentar, melihat Jisoo dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sementara Jisoo harap-harap cemas mendengar jawaban Seokmin.

“Ada.”

“Apa?”

“Lo lebih terbuka sekarang, lo juga lebih friendly. Dulu jaman SMA kan temen lo cuma 1 atau 2 orang.”

“Sekarang juga, cuma Cheol dan Han doang.”

“Lah yang di twitter?”

Seokmin menutup mulutnya, “mampus ketauan stalking kan lo.” batinnya.

“Hah? Oh itu bukan temen gue.”

“Pacar lo dong?”

Semoga enggak, semoga enggak.

“Doain aja ya.”

Anjing.

“Udah dapet izin bang Cheol?”

Jisoo mengangguk, “Katanya sih lagi proses, kaya apa aja ya Seok? Tapi Cheol bilang Changkyun anaknya baik kok, dia udah dapet lampu hijau dari Cheol.”

Seokmin tersenyum, bukan senyum yang biasa dilihat oleh Jisoo.

“Iya kak, gue doain ya semoga bisa pacaran.”

Dugaannya salah, Seokmin mungkin tidak bisa tidur malam ini. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang Jisoo.

“Bawa teh? Ah masa teh.” Seokmin menggarukkan kepalanya, ia daritadi membuka tutup kulkas di kamar kosnya untuk mencari kira-kira minuman apa yang harus dia bawa ke kamar Jisoo.

“Apa snack aja? Ah kan mau makan masa snack?”

“Jus? JUS APAAN GUE GAK ADA BUAH.”

Pilihan terakhirnya adalah menghubungi Hyunjae.

“Beli minum aja sih.”

“Hah?”

“Lo nelfon gue buat nanya kan mau bawa apa ke kamar kak Jisoo?”

“Kok lo tau sih?”

“Gue temenan sama lo udah berapa lama sih nyet?”

“Iyaya, jadi beli aja nih? Beli apaan tapi? Teguk? Haus? Es Teh? Kokumi?”

“Yang mahal lah, kan lo numpang makan di tempat dia.”

“Kan gue yang masak?”

“Tapi lo gak keluar duit, sayangku.”

“Oh iya, oke makasih yank.”

“Ye, ganggu gue sama Chanhee aja.”

“Ye pacaran kok jarak jauh.”

“Diem dah lu yang diputusin.”

Setelah Hyunjae menutup telfonnya, Seokmin buru-buru membuka aplikasi ojek online dan segera memesan minuman favorite Jisoo beberapa tahun lalu, “Semoga aja minuman kesukaan lo gak berubah ye kak. Kan malu juga.”

Setelah minumannya sampai, Seokmin langsung melangkahkan kakinya kearah pintu kamar milik Jisoo, “Ketok? Apa panggil aja?”

Seokmin menghirup nafas dalam-dalam, “Misi? Atau Assalamualaikum? Ahelah ribet amat.”

“Kak Jisoo!” Panggil Seokmin setelah berdiri cukup lama didepan pintu kamar Jisoo.

Pintu didepan Seokmin terbuka lebar, didepannya ada Jisoo yang terlihat baru bangun tetapi tetap tersenyum manis, “Masuk aja, gue baru bangun hehe.”

Seokmin mengikuti langkah Jisoo—lebih tepatnya mengekori.

“Seok ih lo kayak sama orang asing deh, mau duduk dulu apa langsung masak?”

“Masak aja deh kak.”

“Oke, lo mau bikin apa?”

“Bingung, lo mau makan apa?”

Jari Jisoo mengetuk meja makan berulang-ulang dan matanya melihat keatas, “Hmmmm apa ya? Gue kangen nasi goreng udang lo deh.”

“Ada udangnya?”

Jisoo mengangguk semangat, “ADAAA!! Kemarin mama kirimin hehehe.”

“Mana kak?”

Jisoo berlari kecil kearah kulkas dengan bersenandung ria, “Ini. Cukup kan?”

Seokmin menganggukkan kepalanya, “Yaudah tunggu disana aja, jangan gangguin gue.”

“Ih kan gue mau bantu.”

“Gak usah, lo mah ngerepotin.” Ucap Seokmin dengan mendorong tubuh Jisoo pelan.

“Nyebelin.”

Setelah memastikan tidak ada Jisoo di dapur, Seokmin langsung mengupas udang dan mengambil nasi yang ada di atas meja makan. Tidak butuh waktu lama untuk Seokmin membuat dua porsi nasi goreng udang.

“Kaaaak, udah jadi. Sini makan.”

“Wiiih wanginya enak banget.” Jisoo menghirup udara dalam-dalam, “Ih minuman itu!! Kok lo masih inget sih minuman kesukaan gue?” Lanjutnya.

“Inget lah, orang dulu yang lo pesen ini terus iya kan?”

“Iyaa hehe, selamat makan Seokmin!”

“Selamat makan kak.”

Tidak ada percakapan selama mereka makan, Jisoo yang fokus dengan nasi goreng udang didepannya dan Seokmin yang sesekali melirik Jisoo dengan tersenyum manis.

“Ada apa sih di muka gue?”

“Hah?”

“Lo liatin gue mulu daritadi.”

“Oh itu, gue mau nanya aja sih.”

“Apa?”

“Enak gak makanannya?”

Jisoo mengangguk dengan semangat, “Nasi goreng udang paling enak sedunia.”

“Lebay deh lo.”

Jisoo tertawa, “Beneran kok! Lo harus masakin gue lagi.”

“Oh muji tuh karena ada maunya ya?”

“Yeee, tapi beneran enak tau!”

“Iyalah, gue yang masak.”

Seokmin dan Jisoo tertawa mendenger ucapan sombong Seokmin, “Males deh muji-muji kalo kepedean.”

“Bercanda kaaak.”

“Jadi gimana Seok?”

“Hah? Apanya?”

“Kabar lo 2 tahun ini?”

“Oh? Yaaa gitu-gitu aja sih, dibilang baik ya gak baik-baik amat tapi kalo dibilang gak baik ya gak bener juga. Jadi setengah setengah lah. Kalo lo gimana kak?”

“Gak baik kenapa? Ya kalau gue gini-gini aja, sibuk kuliah paling ya? Kangen rumah juga kadang tapi males balik.”

“Gak baiknya ya karena banyak hal yang terjadi di 2 tahun ini. Kan 2 tahun bukan waktu yang sebentar kak, pasti dalam 2 tahun ada aja kejadian yang bikin sedih.”

“Iya bener sih. Kalo pacar gimana? Setelah putus dari gue lo ada pacar gak?”

Seokmin tertawa mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Jisoo, “Pacar ya? Gak ada.”

Jisoo menatap Seokmin dengan tatapan tidak percaya, “Cowok kaya lo? 2 tahun ini gak punya pacar?”

“Cowok kaya gue tuh kaya gimana sih kak?”

“Ya cowok sebaik lo? Seganteng ini? Gak punya?”

“Makasih loh pujiannya. Tapi beneran gak ada, tanya aja Hyunjae.”

“Oh iya, Hyunjae juga disini?”

“Iya, kosnya sebelah kita tuh. Lo inget gak waktu gue ceritain dia lagi deketin adek kelas? Nah sekarang dia udah pacaran sama adek kelas itu.”

“Oh iya? Wih keren juga.”

“Iya, udah lumayan lama juga. Peletnya kuat tuh.”

Jisoo melempar Seokmin dengan tisu bekas miliknya, “Emang Hyunjae cakep tau!”

“Iya iya, kalo lo gimana? Setelah putus dari gue ada pacar lagi gak?”

Jisoo menganggukan kepalanya, “Ada, 1 kali. Udah lumayan lama putusnya. Pacarannya juga bisa dibilang sebentar.”

“Oh? Anak sini?”

“Iya, kating gue. Dulu gue ngerasa keren aja waktu dideketin dia, namanya juga maba kan ya Seok pengen keliatan 'ada' nah waktu diajak pacaran sama dia gue iya-iya aja selain karena dia cakep dan lumayan tipe gue juga, gue mikirnya buat jadi batu lompatan biar gue punya banyak relasi. Mungkin karena niatnya gak tulus jadi putus deh.”

“Oooh gitu.”

“Hehehe yaaa sekarang orangnya udah lulus sih.”

“Eh iya temen lo yang blonde tuh siapa kak?”

“Yang mana?”

“Yang kemarin nyamperin lo di depan gedung?”

“Oh? Jeonghan. Kenapa? Naksir?”

“Enggak, kayak pernah liat.”

“Iya panitia ospek kan dia.”

“Oh pantes.”

tok tok tok

Seokmin melirik jam di dinding kamar kosnya, 16:30. Siapa yang datang sore-sore? Kalau Hyunjae pasti akan langsung masuk tanpa mengetok pintu, Mingyu atau Minghao? Gak mungkin, mereka bilang akan datang nanti jam 7 malam. Seokmin buru-buru mengambil kaos yang ada diatas kursi belajarnya dan berjalan kearah pintu.

“Hai? Siapa ya?”

Lelaki didepan pintu menundukan kepalanya, di tangannya ada satu box yang Seokmin yakini paketnya yang nyasar siang tadi, “Oh paket gue nyasar ke kamar lo? Makasih banyak ya. Maaf ngerepotin.”

“Iya, gapapa.” Jawab lelaki tersebut dengan tetap menundukan kepalanya

“Nama lo siapa? Tinggal disebelah kamar gue?”

Lelaki tersebut mengangkat kepalanya dan menatap mata Seokmin dengan tersenyum, “Iya, nama gue Jisoo.”

“KAK JISOO?”

“Hai? Hahahaha.”

“Lo disini? Maksudnya lo ngekos disini?”

Jisoo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Iya hehe, apa kabar Seok?”

“Baik, lo apa kabar kak?”

“Baik kok, lo gak ngasih tau sih kalo masuk ke kampus ini?”

“Lah gimana mau ngasih tau kak? Kan lo yang tiba-tiba ilang gak ada kabar setelah putus? Gue aja gak tau kalau lo ngampus disini?”

Jisoo tersenyum canggung, yang diucapkan Seokmin barusan adalah kalimat fakta. Dia benar-benar memutuskan komunikasi setelah putus dengan Seokmin, “Yaa sorry hehehe, yang penting kita udah ketemu kan sekarang? Iya kan?”

“Iya.”

“Yaudah, gue mau balik ke kamar gue. Kalau lo ada perlu atau butuh bantuan bisa ke kamar gue. Kalau mau sekedar basa-basi dan ngobrol juga gak masalah. Duluan ya.”

Seokmin masih mematung, otaknya masih mencerna kejadian barusan. Butuh waktu 1 tahun lebih untuk Seokmin melupakan Jisoo, tapi disini dia sekarang, menatap punggung Jisoo dengan perasaan sedih karena sejujurnya Seokmin tidak benar-benar move on.

“Tai, susah-susah moveon ketemunya disini juga?”

Kalau ditanya apa arti Jisoo bagi Seokmin maka jawabannya adalah rumahnya. Dan arti Seokmin buat Jisoo adalah tempat dimana ia merasa aman, tetapi bukan rumahnya.

“Hey, udah lama?”

“Baru sampe kok, Soo. Duduk dulu, aku udah pesen makanan buat kamu.”

“Thanks ya.”

Tidak ada yang memulai percakapan, seolah-olah keduanya mengulur waktu setidaknya mereka bisa menghabiskan waktu bersama sedikit lebih lama. Keduanya diam sibuk dengan urusannya sendiri, Jisoo yang memainkan handphone dam Seokmin yang melihat-lihat interior cafe tersebut.

“Jisoo, kata Wooseok dia kemarin ketemu sama orang tuanya Seungwoo ya? Hasilnya gimana?”

Jisoo menggelengkan kepalanya, “Ya masih kaya kemarin, mereka belum bisa nerima aku tapi seenggaknya mereka mau ketemu aku nanti malam. Sebelumnya mereka gak mau ketemu aku tapi ya ini berkat Wooseok juga, aku titip makasih ya buat Wooseok.”

“Nanti aku sampaiin ke dia.”

“Iya, makasih ya Seok.” Jisoo tersenyum manis, “Aku boleh nanya gak?”

“Nanya apa?”

“Hubungan kamu sama Wooseok itu kaya gimana? Maksudnya aku kenapa kamu sama dia bisa bertahan sedangkan hubungan kita enggak?”

“Jisoo, dari awal kita gak pernah komunikasi dengan benar. Iya kan? Aku yang takut nyakitin kamu dan kamu yang selalu pendam semuanya sendirian. Komunikasi itu bukan kita banget gak sih, Soo? Kita tuh selalu gini, sama-sama takut, sama-sama dipendam sampai jadi bom waktu buat kita. Tapi, ini bukan salah kamu kok.”

“Seok, aku mau jujur sama kamu. Setelah denger ini aku tau kamu bakal benci ke aku dan aku gak masalah karena itu konsekuensi yang aku dapet, tapi aku mohon banget ke kamu untuk jangan larang aku ketemu Sunwoo.”

“Apa, Soo?”

“Waktu kita berantem parah dan aku ada urusan bisnis. Kamu sakit ya Seok? Di rawat di rumah sakit? Kenapa gak bilang ke aku?”

“Aku gak mau repotin kamu, Soo. Lagian kamu kerjanya jauh kan masa iya aku bikin kamu khawatir dan ya aku juga udah gede, bisa rawat diri aku sendiri tanpa nyusahin kamu. Maaf aku gak pernah cerita ya, kamu pasti tau dari Wooseok?”

“Iya, kamu kenal Hyungwon kan?”

“Mantan tunangannya Wooseok? Kamu kenal?”

Jisoo menimang-nimang apakah ia harus memberitahu Seokmin atau tidak, tetapi dia sudah separuh jalan dan rasanya menyesakkan tidak memberi tahu ini kepada Seokmin, “aku tidur sama dia pas bisnis trip.”

Seokmin tersenyum, “aku tau.”

“Kamu tau? Sejak kapan?”

“Sejak Hyungwon mutusin buat akhirin pertunangan dia sama Wooseok. Aku diem-diem ketemu sama dia, tujuan awal aku bikin di babak belur tapi dia cerita semuanya ke aku. Awalnya aku pikir Jisoo yang dimaksud dia itu bukan kamu karena ya berapa banyak sih orang yang namanya Jisoo? Dan pas dia sebut nama kamu aku rasanya kaya apa ya Soo? Aku lebih ke gak percaya sama dia karena ya aku pikir kamu gak mungkin lakuin hal itu ke aku, tapi dia tunjukin foto kalian berdua diatas kasur, wah gila rasanya kepala aku mau pecah. Aku mau marah juga gak bisa karena rasa sayang aku ke kamu lebih besar dari rasa marah aku jadi aku pikir ini karma buat aku dari perbuatan aku yang aku gak sadarin ya ternyata bener kan? Aku punya anak sama perempuan lain, walaupun posisinya pada waktu itu kita belum ada hubungan apa-apa.”

“Kenapa kamu gak bilang?”

“Terus kalau aku bilang buat apa? Aku nunggu kamu jujur, Soo. Aku pengen denger penjelasan dari kamu, aku pengen denger dari mulut kamu kalau yang Hyungwon bilang itu bohong.”

“Seokmin, aku minta maaf.”

“Aku selalu maafin kamu.”

Jisoo tersenyum lega, setidaknya dia sudah berkata jujur kepada lelaki yang disayanginya ini.

“Jisoo, waktu kamu ninggalin aku tau gak kalau aku diem-diem berharap kamu bahagia dan lebih bahagia dari waktu kamu sama aku tapi disatu sisi aku pengen kamu ngerasain sakit yang aku rasain. Waktu ketemu kamu lagi dan liat kamu baik-baik aja, wah gila rasanya aku pengen teriak ke kamu dan bilang gak adil rasanya kalau cuma aku yang menderita sementara kamu enggak.”

“Seok, aku juga menderita kaya kamu. Aku gak bisa tidur tiap malem karena ada rasa bersalah. Waktu tau kamu sama Younjung, aku cemburu Seok dan diem-diem aku berdoa biar hubungan kalian berakhir jadi kamu bisa balik ke aku.”

“Tapi udah gak bisa ya, Soo? Kita udah gak bisa bareng-bareng lagi.”

“Iya, maaf.”

“Aku yang minta maaf.”

“Seokmin, bahagia ya? Aku gak tau kamu nantinya bakal nikah sama Wooseok atau enggak tapi aku harap kamu bisa ketemu sama orang yang sayang sama kamu sebesar rasa sayang aku.”

“Iya, Jisoo. Kamu juga harus lebih bahagia sama Seungwoo daripada waktu sama aku dulu. Semoga urusan kamu sama Seungwoo dipermudah, nanti kalau nikah undang aku.”

Jisoo tertawa, “iya pasti aku undang.”

“Aku duluan ya, Soo. Wooseok nungguin di rumah. Titip salam buat Seungwoo.”

“Iya, sampaiin makasih aku ya ke Wooseok. Aku berhutang banyak ke dia.”

Seokmin tersenyum dan menurut Jisoo itu adalah senyum tertulus yang Jisoo pernah liat, “Iya. Makasih buat semuanya ya Jisoo.”

POV Wooseok.

Gue mengenal dengan Seokmin jauh sebelum Jisoo mengenal Seokmin. Gue mengenal Seokmin sejak gue dan dia duduk di bangku SMA, waktu itu gue adalah siswa yang duduk di bangku kelas 11 sementara Seokmin adalah siswa kelas 10. Perkenalan gue dan Seokmin bisa dibilang cukup unik, yaitu gue secara tidak sengaja memergokinya sedang tidur di perpustakaan saat jam pelajaran keempat dan sejak saat itulah Seokmin sering menyapa gue jika kita secara tidak sengaja bertemu di perpustakaan atau sudut-sudut lain di sekolah, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk meminta nomor telfon gue dan mengajak gue untuk pulang bersama. Hubungan kami semakin dekat semenjak saat itu dan ya seperti kisah semasa SMA kami akhirnya menjalin hubungan lebih dari teman dan selama kami berpacaran, kami tidak pernah bertengkar karena hal serius, pertengkaran kami hanya sebatas kami akan makan dimana, menonton film apa, kenapa tidak memberi kabar seharian, cemburu tidak jelas dan sebagainya. Sampai akhirnya gue lulus SMA, gue dan Seokmin sudah tahu sejak lama kalau gue akan melanjutkan studi gue ke luar negeri karena permintaan dari orang tua gue—lebih tepatnya paksaan karena mereka mau gue lah yang menjadi penerus perusahaan milik mereka.

“Jadi kita putus, Cing?”

“Ya kamunya gak mau coba jalanin dulu?”

“Ah aku tuh gak bisa ldr tau, Cing.”

“Kan belum dicoba, Seok?”

“Cing, kalau putus tetep temenan kan? Jangan ngejauh.”

“Iya tetep temenan lah, kan putusnya baik-baik?”

“Cing disini aja.”

“Lo lawan orang tua gue ya, Seok?”

“Anjing, gue mana punya power buat lawan mereka?”

“Ya sama?”

“Cing.”

“Seok, gue gampar ya.”

“Yaudah, udahan nih? Kelar? Gak ada hubungan lagi?”

“Iya, udahan, kelar tapi masih ada hubungan pertemanan.”

“Tai lah temenan doang sama lo mana cukup.”

“Gak usah lebay, mending lo sekolah yang bener terus kuliah yang serius siapa tau lo bisa susul gue di luar negeri?”

“Iyee, tunggu gue sukses ya Cing. Inget, jangan ganti nomer, bales message gue di facebook, jangan lupain gue.”

“Lebay deh kaya gue mau kemana aja.”

Dan disitulah cerita gue dan Seokmin berakhir.

Tapi buat gue semuanya tidak pernah benar-benar berakhir. Gue sering menangis tiap malam karena menyesal atas keputusan gue untuk mengikuti perintah orang tua dan harus mengakhiri hubungan dengan lelaki yang sangat gue sayangi.

Walaupun terpisah jarak dan perbedaan waktu yang sangat jauh, kami masih sering bertukar pesan. Dan gue tidak berbohong kalau gue diam-diam berharap kami akan kembali bersama nantinya. Sampai satu waktu yang menyadarkan gue kalau kisah kami sudah benar-benar selesai, waktu itu Seokmin menelfon gue tengah malam dan gue tau ada hal baik yang akan dia ceritakan malam itu karena dia dengan nada yang sangat ceria menyapa gue diujung sana.

“CINGG!!! GUE JADIAN SAMA KAK JISOO! GILA SENENG BANGET. BERKAT LO JUGA NIH, MAKASIH BANYAK YA SAYANGKU.”

Hong Jisoo sialan.

Ya mana mungkin gue membalas dengan umpatan kepada lelaki diseberang sana?

Dengan nada yang tidak kalah ceria gue membalas ucapan Seokmin, “Wah selamat ya, Seok. Gak galau lagi deh lo, traktir dong.”

Dan malam itu lagi-lagi gue menangis.

Tidak ada yang berubah semenjak Seokmin memiliki kekasih, kami masih sering bertukar pesan dan tidak jarang pula kami menelfon satu sama lain. Seokmin bilang kepada gue waktu itu, “Ya gimana Cing? Lo kan safe place gue, kalo gak ada lo, gue harus gimana?”

Bisa dibilang, Seokmin adalah orang pertama yang akan gue hubungin kalau gue mengalami kesulitan atau musibah karena gue tau dia akan datang menemui gue saat itu juga dan begitu juga sebaliknya. Gue adalah orang pertama yang akan dia hubungi kalau dia sedang dalam kesulitan seperti malam itu.

“Cing? Lo bisa kesini sekarang?”

“Seok, for your information disini jam 3 pagi dan gue belum pesen tiket buat terbang kesana.”

“Wooseok, gue butuh lo.” Gue bisa mendengar sedesperate apa lelaki diseberang sana.

“Hey, is everything okay?”

“Wooseok, gue hamilin anak orang.”

“Hah? Jisoo gak bisa hamil ya nyet, jangan prank gue.”

“Bukan Jisoo.”

“ANJING.”

“Wooseok, please kesini sekarang. Gue mohon.”

Dengan berakhirnya percakapan di telpon itu, gue tanpa pikir panjang langsung memesan tiket penerbangan jam pertama untuk ke Indonesia dan langsung ke bandara saat itu juga. Gue lah orang pertama yang mengetahui cerita Seokmin dengan perempuan bernama “Kim” dan gue lah orang pertama yang menemani Seokmin untuk menemui Sunwoo. Jangan salah paham, gue tidak merasa senang dengan masalah yang menghampiri Seokmin dan bisa saja membuat hubungan Seokmin dan suaminya–Jisoo berakhir buruk.

“Cing, lo percaya ini anak gue?”

“Mirip sih.”

“Darimananya?”

“Ya lo liat aja sendiri.”

“Namanya Sunwoo, lucu ya.”

“Lo mau urus anak ini kan, Seok?”

“Gue gatau.”

“Jangan bego deh.”

“Cing, kalo gue bawa anak ini dan cerita semuanya ke Jisoo, apa menurut lo Jisoo gak akan ninggalin gue?”

“Ya gak tau, kata lo dia orang baik kan? Percaya sama gue dia pasti nerima masa lalu lo dan anak lo kok.”

“Apa gue bohong aja ya?”

“Dan memperkeruh suasana, Seok?”

“Kok gitu?”

“Kalau lo bohong percuma, ujung-ujungnya ketauan juga dan malah memperkeruh suasana. Iya kan? Mending lo jujur sama dia sekarang, lebih baik dia tau dari mulut lo daripada tau dari orang lain.”

“Gue pikirin lagi.”

Dan gue tau dia akan mengulur waktu sampai akhirnya Jisoo sendiri yang mengetahui fakta tersebut.

“Cing, gue cerai.”

Seokmin menangis di lutut gue dengan rambut yang berantakan, baju yang tidak nyambung dengan celananya. Seokmin berantakan.

“Makan dulu Seok, gue yang suapin Sunwoo.”

“Cing, dia pergi.”

“Iya gue tau, makan dulu ya?”

“Gue gak bisa hidup tanpa Jisoo.”

Yang Seokmin tidak tahu adalah bahwa gue juga tidak bisa hidup tanpanya.

“Iya, makan dulu ya. Nanti kita cari tau Jisoo kemana.”

Sampai akhirnya gue harus pulang ke Amerika karena pekerjaan gue yang tidak bisa ditinggal dan membuat hubungan gue dan Seokmin merenggang. Gue bertemu dengan lelaki lain disini, namanya Evan dan yang gue tau Seokmin juga menjalin hubungan dengan Jihoon, lelaki bertubuh kecil yang sangat menggemaskan.

Sekarang gue sedang duduk sudut cafe, menunggu lelaki yang sering kali diam-diam gue caci maki. Hong Jisoo.

“Hey, Wooseok right?”

“Iya, duduk aja.”

Jisoo menarik bangku didepan gue dan langsung duduk, gue bisa lihat betapa gugupnya lelaki didepan gue.

“Akhirnya kita ketemu ya, Jisoo. Gue sering denger cerita tentang lo dari Seokmin.”

“Oh ya? Gue juga sering denger cerita tentang lo.”

“Dari siapa? Seokmin atau Seungwoo?”

“Dua-duanya.”

“Well, gue harap itu cerita baik. Anyway, gue gak mau basa-basi. Lo mau nikah sama Seungwoo atau balikan sama Seokmin?”

Jisoo terlihat terkejut dengan pertanyan gue barusan tetapi dia berusaha untuk terlihat tenang.

“Seungwoo.”

“Okay.”

“Wooseok, gue boleh tanya sama lo?”

“Apa?”

“Kenapa hubungan lo sama Seokmin bisa berhasil? Sedangkan gue sama dia gak bisa berhasil?”

Gue tertawa miris, “Berhasil gimana? Kalo berhasil, lo sama dia gak akan pernah ada hubungan.”

“Ya gue tau itu, tapi bukannya hubungan kalian berakhir bukan karena sama-sama mau kan? Tapi karena keadaan?”

“Iya.”

“Jadi, yang salah di hubungan gue dan Seokmin itu apa? Apa yang lo punya dan gue enggak?”

“Yang salah dari hubungan kalian itu komunikasi, Jisoo.”

“Komunikasi?”

“Iya.”

Gue menyenderkan tubuh gue kedepan, “lo sama Seokmin itu komunikasinya jelek.”

“Gue rasa kita baik-baik aja?”

“Yakin? Coba inget-inget deh waktu lo pacaran sampe lo nikah dan cerai, berapa kali kalian bertengkar cuma karena salah paham?”

Jisoo diam.

“Gue kasih satu contoh deh, waktu kalian lagi persiapan nikah lo tau gak kalau Seokmin itu hampir nyerah karena kalian selalu gak sependapat? Waktu itu gue yakin lo juga stress tapi gak mau bilang kan? Dari situ aja udah salah dan lo berdua yakin banget mau nikah.”

“Kok lo tau dia stress?”

“Dia cerita ke gue.”

“Wooseok, apa lagi hal yang lo tau tapi gue gak tau tentang Seokmin?”

“Hmmm..” Gue mencoba menghitung dan mengira-ngira informasi apa yang Seokmin ceritakan ke gue tetapi tidak kepada lelaki didepan gue ini.

“Banyak.”

“Apa?”

“Waktu lo berantem dan lo ada urusan bisnis di luar kota, lo tau enggak dia sakit dan dirawat di rumah sakit? Sementara lo disana juga gak cerita kan kalo lo “ketemu” sama cowok lain disana?”

Jisoo terkejut dengan ucapan gue mengenai hubungannya dengan lelaki lain selain Seokmin, “Lo tau darimana? Tentang cowok lain itu?”

“Cowok itu Jisoo, cowok yang lo ajak tidur bareng malam itu punya tunangan Jisoo. Tunangannya itu gue.”

“Wooseok, gue minta maaf.”

“Sampai kapanpun gue gak akan bisa maafin lo. Lo yang buat Hyungwon mengakhiri rencana pernikahan gue dan dia. Lo juga yang buat Seokmin hampir bunuh diri.”

“Seokmin? Lo bohong kan?”

“Buat apa gue bohong? Buat bikin lo merasa kasihan sama dia dan buat kalian balikan? NO.”

“Wooseok, gue beneran gatau.”

Gue bisa melihat Jisoo menangis didepan gue dan gue tidak merasa bersalah sama sekali.

“Gue gak pernah memohon kepada orang lain sebelumnya, tapi Jisoo gue mohon sama lo jaga jarak ke Seokmin, jangan buat dia berpikir kalau kalian ada harapan untuk bareng-bareng lagi kalau lo sendiri gak ada pikiran kesana. Gue akan bantu ngomong ke orang tuanya Seungwoo biar lo diterima sama mereka dan please bantu gue dengan jaga jarak ke Seokmin.”

“Gue harus apa, Wooseok? Lo dijodohin sama dia kan?”

“Gue menolak perjodohan itu dan jangan kegeeran dulu gue ngelakuin itu karena kemauan gue bukan karena mau bantu lo.”

“Wooseok, gue masih mau ketemu Sunwoo.”

“Gue gak pernah ngelarang lo ketemu Sunwoo kan? Gue cuma minta lo untuk jaga jarak ke Seokmin, jangan kasih harapan apapun ke dia. Bukan minta lo untuk gak ketemu sama Sunwoo.”

“Gue titip Seokmin ya?”

“Titip? Lo tau kan titip artinya 'barang' itu milik lo, sedangkan Seokmin bukan milik lo. Mungkin kata yang tepat adalah lo relain Seokmin, untuk kebahagiaan Seokmin sendiri kok bukan untuk kebahagiaan gue.”

“Wooseok, lo orang baik begitu juga dengan Seokmin. Gue harap apapun ending cerita kalian nantinya, kalian harus bahagia ya?”

“Iya. Thank you ya, Soo. Besok gue ketemu sama mami papinya Seungwoo dan bakal bantu lo untuk diterima sama mereka.”

“Makasih banyak ya, Wooseok.”

Notes:

Jisoo yang tulisannya rata, Wooseok yang tulisannya italic

“Halo, Seok?”

“Oh hey sorry, Seokminnya lagi mandi.”

“Oh?”

“Jisoo right?”

“Yes, who are you?”

“Wooseok.”

“Oh, nice to meet you.”

“Right, gue denger cerita banyak tentang lo. Kenapa telfon Seokmin?”

“Ah iya, tolong bilangin Seokmin kalau jaketnya masih di gue.”

“Okay, gue bakal bilang ke dia nanti.”

“Thank you, Wooseok. Anyway can i ask you something?”

“Sure, what is it?”

“Kenapa lo di rumah Seokmin?”

“Salah kali, Seokmin yang di rumah gue.”

“Okay, kenapa dia di rumah lo?”

“Kenapa? Cemburu?”

“No.”

“Terus kenapa nanya?”

“Curious”

“Well, rumah dia lagi direnovasi so dia numpang di rumah gue.”

“Sunwoo juga?”

“No, Sunwoo di rumah Wonwoo.”

“Ah i see. Udah lama?”

“Hmm? Maybe like one week? Or two? Dia gak cerita sama lo?”

“Hmmmm noo?”

“Kaya dulu ya, anyway lo besok kerja sampai jam berapa?”

“Around 5 PM, why?”

“Lets meet, gue tau banyak yang mau lo tanyain ke gue.”

“Okay, dimana?”

“Cafe yang diseberang kantor lo aja gimana? Gue tau lo satu kantor sama Seungwoo. Jadi jam 6 di cafe okay? Jangan ajak Seungwoo atau Seokmin.”

“Noted, see you.”

POV Jisoo.

Halo, perkenalkan nama aku Hong Jisoo. Disini izinkan aku bercerita tentang hubunganku dan Seokmin dari sudut pandangku, karena rasanya tidak adil jika aku dihakimi tanpa kalian mendengar cerita dari sudut pandangku.

Sebelum aku memulai cerita, aku ingin memberitahu kalian bahwa sekarang aku ada di cafe yang dahulu aku dan Seokmin sering kunjungi dan di depanku ada lelaki berhidung mancung yang berusia 2 tahun lebih muda dariku, ya tentunya lelaki yang aku sayang. Lee Seokmin.

Aku masih ingat pertemuan pertamaku dengan Seokmin, waktu itu dia adalah barista salah satu coffee shop yang ada di dekat kampusku. Semasa kuliah, aku bukan anak yang dikenal dimana-mana, teman dekatpun bisa dihitung jari ya jadi wajar saja kalau aku tidak mengenal adik tingkatku. Waktu itu aku datang bersama Jeonghan dan Jeonghanlah yang memperkenalkanku dengan barista tampan tersebut, Jeonghan bilang Seokmin adalah teman main pacarnya, Seungcheol. Setelah berkenalanpun tidak ada interaksi yang banyak diantara kami, kalau diingat-ingat lagi setelah momen berkenalan itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sampai satu waktu. Ceritanya gini, Jeonghan mengajakku untuk mengerjakan tugas kelompok di kos milik Seungcheol dan aku mau-mau saja karena Seungcheol juga teman satu kelompokku. Sekitar pukul 8 malam ada satu lelaki yang masuk kedalam kamar kos Seungcheol dan bertingkah seolah-olah dia pemilik kamar kos ini dan lelaki itu adalah Seokmin. Setelah mengerjakan tugas, Seungcheol menyuruh Seokmin untuk mengantarkanku pulang karena Jeonghan akan menginap di kos miliknya dan Seokmin mengiyakan perintah Seungcheol. Cerita kami dimulai disini.

Semenjak peristiwa aku diantar pulang oleh Seokmin, aku dan dia jadi sering bertukar pesan dan membahas hal penting sampai tidak penting. Seokmin memiliki pribadi yang menyenangkan dan sopan, siapapun yang mengenalnya akan mengatakan hal yang sama seperti yang aku bilang barusan. Berteman dengan Seokmin merubah pandanganku dan pola pikirku tentang banyak hal. Seokmin itu dewasa dan mungkin hal-hal yang aku sebut barusan adalah alasan mengapa aku jatuh cinta kepada lelaki tersebut.

Aku masih ingat waktu dia mengajakku berpacaran waktu itu, “Kak Jisoo, aku butuh ngomong serius. Kalau aku gak ngomong sekarang aku gak bisa tidur. Kak, tau gak kalau aku suka sama kamu? Aku mau ajak kamu pacaran tapi ini bukan permintaan jadi kamu gak bisa nolak.” Ya tidak romantis sih, tapi aku juga tidak bisa menolak.

Semenjak berpacaran dengan Seokmin, aku merasa bahwa aku adalah pria paling beruntung sedunia. Pernah tidak ada lelaki yang rela menyetir mobil Depok-Surabaya untuk meminta masakan sup ayam buatan mama kamu, karena kamu sakit dan rindu masakan mama? Aku pernah dan lelaki itu adalah Seokmin. Malam itu aku sakit panas dan sedari kecil kalau aku sakit panas, mama akan memasak sup ayam dan secara ajaib kamu akan sembuh dalam kurun waktu satu malam. Makanya waktu itu, Seokmin menyetir dari Depok ke Surabaya untuk meminta sup ayam itu karena tadi Seokmin sudah mencoba untuk memasaknya sih tapi gagal, rasanya tidak sama seperti yang mama buat. Mungkin, itu adalah alasan kenapa mama dan papa sangat menyayangi Seokmin.

“Jisoo, apa yang mau kamu omongin?” Suara Seokmin memasuki telingaku.

Aku tersentak kaget, “Maaf-maaf, langsung aja kali ya?”

“Iya, Jisoo.”

“Kamu beneran setuju sama rencana mas Seungwoo dan Wooseok?”

Seokmin menganggukkan kepalanya, “iya.”

“Kenapa, Seok?”

“Ya karena aku sayang sama kamu, Jisoo.” Lelaki didepanku tersenyum manis, manis sekali. “Kamu bilang kan kalau aku harus jujur tentang perasaan aku? Iya itu jawabannya. Aku sayang sama kamu.”

Senang. Aku senang mendengar fakta bahwa rasa sayangku masih terbalas.

“Tapi kenapa kamu malah setuju, Seok? Kata kamu kalau kamu gak setuju Wooseok mau nerima perjodohan ini?”

“Jisoo, aku gak mungkin ngorbanin kebahagiaan kamu, Seungwoo dan Wooseok untuk kebahagiaan aku sendiri. Aku mau egois tapi gak sejauh itu.”

“Kalau aku bilang kebahagiaan aku itu di kamu, gimana Seok?” There. I said it.

Lagi-lagi dia tersenyum manis, “Jangan ya, Jisoo. Aku udah sering nyakitin kamu. Seungwoo baik kan ke kamu? Ke Jungwon? Gak pernah bohong kan? Gak pernah selingkuh juga? Semua perlakuan jahat yang aku lakuin ke kamu gak pernah kan Seungwoo lakuin? Jadi, aku mohon untuk kali ini Jisoo, kamu itu orang baik dan Seungwoo orang baik.”

“Seok, please? Aku bukan orang baik. Aku gak dateng waktu kita anniversary dan ngebuat kamu nunggu berjam-jam, parahnya aku gak dateng waktu Abah meninggal.”

“Anniversary itu juga salah aku, harusnya aku tau kamu baru naik jabatan pasti lagi sibuk-sibuknya kan? Harusnya aku ubah ke weekend tapi malah terlalu bahagia kayaknya jadi gak diubah deh.”

“Seok...”

“Aku tau kok waktu Abah meninggal kamu di Singapore kan? Jungwon sakit dan butuh perawatan makanya kamu gak bisa hadir. Maaf ya, aku bukan ayah yang baik buat Jungwon karena gak disana pas dia sakit dan bukan suami yang baik karena gak bisa nemenin kamu disana, pasti berat ya Soo harus rawat Jungwon? Maaf banget aku gak ada disana pas kamu butuh aku.”

Aku menangis. Bagaimana dia bisa tahu tentang ini?

“Gak usah bingung, aku tau dari Ibu. Ibu cerita kemarin waktu aku kesana. Aku juga tau sebulan setelah Abah meninggal kamu ke Garut kan? Nemuin Ibu dan minta maaf ke Ibu, kamu juga ziarah ke makam Abah. Makasih ya, Jisoo karena udah sayang ke Ibu dan Abah. Diatas sana Abah pasti kangen juga sama kamu. Kamu kok maunya rahasiain dari aku sih?”

Sialan, menangis tersedu-sedu di cafe membuatku seperti orang bodoh.

“Seok, aku sayang sama kamu.”

“Iya, makasih ya Jisoo.”

“Aku mau putusin Seungwoo dan balik ke kamu. Aku gak masalah tentang masa lalu kamu, Seok.”

“Kamu mau denger enggak tentang Sunwoo dan mamanya?”

Aku menganggukan kepala, “Mau.”

“Waktu itu aku party, aku minum banyak karena baru putus dari mantan aku.”

“Wooseok?” Aku menyela ceritanya.

“Iya. Aku dulu kacau banget, namanya juga anak baru lulus SMA, masih belum stabil ya pas itu aku sedih banget gatau mau ngelampiasin kemana ya akhirnya aku lampiasin ke minum-minum. Gak inget minum berapa banyak, dulu aku juga gatau aku kuat berapa gelas kan soalnya baru beberapa kali minum. Pas minum banyak banget berbotol-botol aku gak inget apa-apa, pas bangun aku ada disalah satu kamar yang ada di rumah itu. Itu doang yang aku inget, aku bahkan gatau kalo ada perempuan. Beberapa tahun setelahnya, pas aku udah nikah sama kamu tiba-tiba Sejeong chat aku bilang kalau ada perempuan yang ngaku-ngaku kalau dia punya anak dari aku. Aku kira dia prank ke aku, aku dm lah orangnya dan dia langsung ceritain semuanya, tentang aku yang mabok parah dan apa aja yang aku sama dia lakuin malem itu. Dia juga bilang kalau dia mau pindah dan gak bisa bawa Sunwoo ke luar negeri karena suaminya yang larang, disitu aku bingung banget ya mau gimanapun kan Sunwoo anak aku, masa gak mau aku ambil? Tapi pikiran aku bercabang, aku harus bilang apa ke kamu? Aku harus bilang apa ke Abah sama Ibu? Malem itu juga aku telfon Wooseok, yang ada diotak aku cuma dia doang yang bisa bantu. Setelah Wooseok sampai di Jakarta, aku sama dia ke panti dan ketemu sama Sunwoo. Aku tes dna dulu buat yakinin kalau itu anak aku dan pas keluar hasilnya aku nangis, disatu sisi aku ngerasa bersalah karena ngeraguin Sunwoo dan disisi lainnya aku juga ngerasa bersalah karena harus bohong ke kamu. Setelah tau itu anak aku, aku telfon abah dan ibu, mereka nangis karena tau kelakuan anaknya wakth remaja, mereka juga marah sama aku. Setelah nelfon dan minta maaf ke Abah sama Ibu, aku langsung bilang ke kamu kalau mau adopsi anak dan disitu kamu setuju. Sumpah demi Tuhan, aku gak ada niatan buat bohongin kamu. Aku ada rencana mau bilang ke kamu disaat yang tepat, gataunya kamu malah tau duluan.”

Oh God. Ada perasaan menyesal setelah mendengar cerita Seokmin. Harusnya dulu aku mau dengar cerita dari dia. Mungkin, mungkin saja kalau dulu aku tidak keras kepala dan mau mendengar cerita dari Seokmin, hubungan kami tidak akan berakhir seperti ini. Bisa saja, kami masih menjadi keluarga yang harmonis.

Aku memukul kepalaku dengan kencang, “Oh stupid me.”

Seokmin menarik tanganku dan mengelusnya dengan lembut, “Jangan dipukulin kepalanya, nanti sakit. Waktu kamu ninggalin aku, dunia rasanya hancur. Aku gak mau makan, gak mau minum. Bahkan gak mau ketemu dan ngeliat Sunwoo, karena yang ada diotak aku dia yang bikin kamu ninggalin aku.”

“Seok, maaf.”

“Gapapa, udah lewat juga.”

“Kalau dulu aku dengar cerita kamu, sekarang kita masih bareng kali ya Seok?”

Seokmin tertawa mendengar pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku barusan, “Bisa jadi? Kalau kita gak berjodoh ya bisa aja udah pisah juga tapi karena masalah lain. Iya kan?”

“Seok, ayo kita ulang cerita kita lagi? Aku mohon.”

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Seokmin hanya tersenyum dengan jarinya yang masih sibuk mengelus tanganku.

POV Seokmin.

TW//mentioning of suicide.

Sebenernya gue sendiri juga gak paham kenapa gue ada disini sekarang dan terlintas dikepala gue yang mengatakan bahwa gue harus ada disini, menemani Wooseok.

“Seok, beneran gak mau balikan sama Kak Jisoo?” Tanya lelaki yang duduk disebelah gue.

“Demi Allah, Cing lo udah nanya ini beratus-ratus kali.”

“Ya lo sih, jangan bohong mulu sama gue.”

“Enggak, lo gak liat nih mata gue? Emang keliatan bohong?” Gue memegang pipi Wooseok dan mengarahkan mukanya kearah muka gue.

“Lo jelek.”

“Anjing.”

Wooseok tertawa kencang, “Selain jelek, lo tau kan kalo lo bohong? Keliatan kali.”

“Iya.”

“Iya kan lo mau balikan? Oke kalo gitu.” Wooseok buru-buru membuka pintu mobil gue

“Jangan keluar dulu, tolong dengerin penjelasan gue.”

“Oke, 10 menit.”

“Iya, gue masih sayang sama dia. Dari dulu gak pernah berubah, brengsek emang pacarin berapa orang cuma buat lupain Jisoo tapi hasilnya nol besar.” Gue menghela nafas, “Waktu ketemu dia lagi setelah bertahun-tahun gak ketemu, bohong kalau gue bilang gue gak seneng. Rasanya kayak apa ya? Campur aduk, ada rasa lega, rasa marah dan penyesalan semuanya jadi satu. Gue lega ngeliat dia baik-baik aja tapi gue juga marah karena dia baik-baik aja. Waktu ketemu lagi di weddingnya temen, rasanya dunia gue kayak hancur ngeliat dia gandengan sama laki-laki lain, gue pengen teriak ke kuping dia kalau gue masih sayang sama dia di satu sisi gue pengen tunjukin ke dia kalau gue juga bisa bahagia tanpa dia makanya gue dateng kesana sama orang lain.”

“Younjung?”

“Iya. Tapi gue salah juga punya pikiran kalau dia bakal sedih ngeliat gue sama orang lain, padahal mah dia peduli aja enggak. Semenjak ketemu Jisoo, gue bener-bener gak anggap Younjung pacar gue, di pikiran gue cuma ada Jisoo, Jisoo, Jisoo. Brengsek kan? Pura-pura masih sayang sama Younjung, pura-pura semuanya baik-baik aja padahal enggak.”

“Lanjut, gue masih dengerin kok.”

“Waktu Sunwoo sama Jungwon bikin rencana untuk nyatuin gue sama Jisoo lagi, sejujurnya gue seneng, seneng banget. Tapi gue tau kalo Jisoo gak suka sama rencana itu. Dari situ gue tau kalau dia udah gak stuck di masa lalu kaya gue.” Gue tertawa kecil, “Pas dia ajak gue liburan berempat, wah gila rasanya tuh kayak dunia bisa gue genggam, bahagia banget asli. Padahal niat Jisoo cuma mau bahagiain Sunwoo dan Jungwon. TMI sih, tapi waktu tidur bareng dia lagi sejujurnya gue mau egois disitu. Gue mau bilang ke dia kalau gue masih sayang sama dia, gue mau ngulang semuanya dari awal, bukan untuk Sunwoo atau Jungwon tapi untuk gue sendiri. Rasanya mau gila, pas bangun dan liat dia tidur disebelah gue, ya disamping dia telanjang ya walaupun dia pake baju juga gue mau gila.”

“TMI anjing.”

“Sorry, ya gitu Cing. Inget gak gue misscall lo beberapa waktu lalu?”

“Iya, lo belom cerita kenapa telfon gue malem-malem?”

“Gue nangis.”

“Hah?”

“Jisoo tunangan. Gue liat postingannya di twitter, dia juga cerita ke gue. Anjing ya? Dia santai banget ceritanya padahal gue rasanya mau bunuh diri, beneran gak bohong. Perasaan yang sama kaya beberapa tahun lalu pas dia ninggalin gue, itu cing kaya gitu. Gue mau bunuh diri. Dulu ada lo disamping gue yang nenangin, tapi waktu itu gak ada. Gue sendirian gatau mau cerita sama siapa lagi. Paginya gue harus bersikap biasa aja karena ada Sunwoo di meja makan. Padahal tiap malem gue minum obat tidur dengan harapan gue gak ketemu matahari pagi.”

“Seok.”

Gue tersenyum kecil, gue tahu lelaki kecil disamping gue ini sedang merasa kaget mendengar pernyataan terakhir gue, “Gapapa, bukan salah lo. Lagian udah lewat juga.”

“Egois. Kali ini egois aja.”

“Ngorbanin kebahagiaan lo? Ngorbanin kebahagiaan Jisoo? Enggak mau.”

“Oh my God...” Wooseok menghela nafas, “lo pulang aja, rencananya gue ubah.”

“Lah kenapa? Gue gak mau ya lo nikah sama dia demi gue.”

“Enggak kok, lo punya temen yang single? Kenalin sama gue, bilang ke dia gue sewa dia buat jadi pacar bohongan gue.”

Gue mengajukan diri tentunya karena lelaki disamping gue imi sudah berbuat banyak untuk gue dan sekali saja gue mau membalas kebaikannya, “Gue aja.”

“After everything, Seok? Setelah yang gue denger dari lo dan lo pikir gue mau ngeliat lo menderita karena harus ketemu Jisoo dan tunangannya setiap hari?”

“Lebay banget, gue gak akan menderita. Jadi cing, sama gue aja ya? Gue mau jadi pacar bohongan lo.”

“Terserah. Lo pulang deh, nanti gue pulang sama Seungwoo aja. Besok kita ketemu lagi.”

“Oke, hati-hati.”

“Yaaa.”