heavenspile

POV Seokmin.

Sekarang pukul 9 kurang 5 menit dan gue sudah mandi, ini adalah momen langka buat diri gue sendiri. Bangun jam 8 dan langsung mandi? Sebuah peningkatan dalam hidup seorang Lee Seokmin. Alasan kenapa gue sudah bangun sepagi ini bukan karena gue mendadak rajin dan ingin mengerjakan skripsi gue (yang sudah lama tidak gue sentuh) tapi karena gue tidak bisa tidur semalaman dan semua akibat pesan yang dikirim oleh mantan dosen gue.

Oh iya, sekarang gue sedang menginap di Kos Younjung. Semalam setelah makan malam bersama, gue memutuskan untuk menginap di Kos Younjung karena entah kenapa gue terlalu nervous dan tidak mau sendirian.

“Sarapan dulu gak?” Tanya si pemilik kamar

Gue berguling-guling diatas kasur Younjung, “Duh mules gue, Yoooo.”

“Sumpah lo tuh cuma diajak makan siang bukan diajak kawin.” Balas Younjung sambil menarik tangan gue untuk turun dari kasurnya.

“Ihhh mules banget, kalo dia pamit gimana Yo?”

Younjung memutar kedua bola matanya, “Yaudah cari laki lain, ribet amat. Makan dulu buruan ih jam 9 gue ada rapat. Jangan berisik, WFH nih gue!”

Setelah perdebatan cukup panjang akhirnya gue duduk manis di lantai dan menyantap sarapan yang sudah dibuat oleh Younjung.

“Masih jam 10, gak usah cek jam mulu kali.”

Gue menghembuskan nafas dan menidurkan badan gue diatas kasur, “Beneran mau gila gue degdegannya.”

“Lebayy, lagian kata gue sih bawa good news.”

“Aamiin.”

Jam menunjukkan pukul 11:15, dan notifikasi dari handphone gue membuat Younjung buru-buru menghampiri gue.

“Kirim alamat gue, share location aja.”

“Dia nanyain gue pindah kosan lagi apa gimana?”

“Bilang lah di kos gue.”

“Iyasih.”

“Yaudah gih sana rapihin bajunya tuh ih, pake parfum buruu!”

“Iya iya sabaar.”

Setelah berpamitan dengan Younjung (padahal malam ini gue akan menginap lagi), akhirnya gue menaiki mobil milik Kak Jisoo.

“Younjung gak kerja?”

“WFH dia.”

“Oooh.”

“Kita mau makan dimana kak?”

“Inget gak restoran yang dulu kita datengin pas gue mau pergi ke Singapore?”

Oh restoran itu.

“Inget lah, kesana?”

Jisoo menganggukan kepalanya, “Iya, lo suka kesana kan?”

“Dulu gue kesana sama lo doang kali.”

“Loh gak pernah kesana lagi?”

Enggak, gak mau. Gue gak suka restoran itu karena restoran itu tempat gue dapet kabar buruk kalau lo harus pergi ke Singapore.

“Enggak, jauh dari kosan.”

“Oh iyasih, gapapa kan ya gue ajak kesana?”

“Yaaaa gak masalah kok.”

“Okay.”

Setelah sampai di restoran dan memesan makan, baik gue maupun Kak Jisoo tidak mengobrol, gue lebih memilih dia memulai percakapan duluan.

“Seok, lo tau kan gue ada kerjaan disana?”

Shit.

“Iya tau kok, kenapa kak?”

“Gue resign.”

ANJING. ANJING. Ini gue gak salah denger kan?

“Hah? Resign?”

“Iya, gue resign.”

“Loh kenapa?”

“Gue dapet opportunity yang lebih baik disini.”

Gue diam. Gue bingung mau jawab apa. Jantung gue rasanya mau meledak.

“Serius? Kok gitu?”

Gue berusaha menyembunyikan senyuman gue.

“Kalau mau senyum ya senyum aja, Cil. Gak ada yang larang.”

UYOOOO MALU BANGETTT.

“Apasih, geer banget lo kak.”

Lelaki didepan gue tersenyum, “gue juga seneng gak ninggalin lo lagi kok, cil.”

Dan senyum gue pun tidak tertahan lagi. Gue tersenyum lebar.

“Gue gatau mau ngomong apa kak, asli gue seneng banget tapi gimana ya kak. Aduh bingung bangeeett.”

Dia tertawa mendengar ucapan gue, “Iya sama-sama, Cil.”

“Lulus semester ini, bisa kan?” Lanjutnya.

“IH KOK TIBA-TIBA NYURUH LULUSSSS”

“Impian lo S2 ke Australia belum berubah kan?”

Gue menggelengkan kepala, “belum laaaah.”

“Nah ayo tahun depan ke Australia.”

“Hah siapa? Gue? Sama lo?”

“Iya, sama gue.”

Gue bingung banget. Kenapa harus berdua?

“Kenapa sama lo?”

“Lo gak mau?”

“Enggak gitu, gue mau banget lah.”

“Nah gue temenin disana.”

INI ANEH BANGET. Gue mimpi?

“Emang lo gak mau kaya Kak Han dan Bang Cheol kak?”

Pertanyaan ini akhirnya keluar dari mulut gue.

“Mereka kenapa?”

“Nikah?”

Ya maksudnya, apa dia tidak merasa sedikit iri melihat sahabat dekatnya sudah menikah? Atau tidak ada sedikit keinginan setelah melihat sahabat baiknya menikah?

“Yaa gue sih udah siap nikah, pertanyaannya kan bukan di gue.”

“Kalo bukan di lo, terus dimana kak?”

“Di lo. Emang lo siap gue ajak nikah sekarang?”

Today is Soonyoung's birthday, and he is feeling rather lonely. He doesn't have any close friends, and his family is all out of town. He decides to go out for a walk to try to cheer himself up. As he is walking, he sees Seokmin, his neighbor. Seokmin is a friendly and outgoing person, and Soonyoung has always felt comfortable around him.

Seokmin melihat Soonyoung dan melambaikan tangannya, “Soonyoung!” he calls out, “Mau kemana?”

“Not much,” Soonyoung membalas sapaan, “Mau muterin komplek aja kayaknya”

”Yaelah birthday boy masa sendirian aja sih, keluar yuk kita cari makan.” ucap Seokmin

Soonyoung is hesitant at first, but he eventually agrees. Seokmin takes him to a nice restaurant, and they have a great time. Seokmin orders a lot of food, and he makes sure that Soonyoung gets to try everything. Menurut Soonyoung, ini sedikit aneh. Dia dan Seokmin bisa dibilang tidak terlalu dekat, mereka hanya mengobrol sesekali kalau tidak sengaja bertemu di tempat sate padang langganan mereka berdua atau di toko kelontong depan perumahan mereka tinggal.

After dinner, Seokmin takes Soonyoung to a few different stores. He knows that Soonyoung is a big fan of free stuff, tentunya Seokmin tau dari Soonyoung sendiri beberapa waktu lalu ketika mereka tidak sengaja bertemu di cafe dekat kampus mereka, “Gue kesini tuh sebenernya ngincer promo buy 1 coffee get 1 cake, tau Seok!” jadi di hari ulang tahun Soonyoung, Seokmin makes sure to take him to all of the stores that offer birthday benefits. Soonyoung is having a great time and he is starting to feel less lonely. Semua berkat tetangga depan rumahnya, Seokmin.

By the end of the night, Soonyoung mulai merasa cukup lelah karena tanpa mereka sadari mereka sudah menghabiskan waktu hampir seharian bersama— ini adalah kali pertama untuk mereka berdua. Soonyoung thanks Seokmin for a great time, “Aaah gila, happy banget gue hari ini Seok! Kenyang makan tapi gak keluar uang sama sekali, kok lo tauan sih tempat mana aja yang offer birthday benefits gini?”

Seokmin smiles, “Karena gue juga ngincer sih waktu ultah kemaren”

“Oh pantes.” Soonyoung replies, “Balik nih ke rumah?”

“Udah cukup nih segini aja?”

“Cukup banget lah gila.”

“Yaudah ayo balik.”

As Soonyoung walks home, he can't help but smile. He has never had a birthday this much fun before. Dan anehnya, Soonyoung yang dari dulu tidak pernah menyukai hari ulang tahunnya maka kali ini ia merasa bahwa ia mulai sedikit menyukai hari ulang tahunnya.

Diam-diam, lelaki yang berjalan disamping Soonyoung sekarang, tersenyum manis melihat Soonyoung yang tersenyum memandang langit diatas. Seokmin has always liked Soonyoung, but he has never been able to tell him how he feels. He is glad that he was able to make Soonyoung happy on his birthday and he hopes that he can spend more time with him in the future. “Bahagia ya, Soon.”

Soonyoung tersenyum, “Gak pernah sebahagia ini sebelumnya, thanks ya! Sering-sering deh kita keluar bareng.”

Seokmin mengeluarkan kotak berukuran sedang dari tas yang dibawanya, “Oh iya nih kado buat lo.”

Soonyoung mengerutkan keningnya, “Serius?”

“Serius lah, gue gatau sih lo sukanya apa. Jadi gue harap lo suka yang gue kasih ya.”

Soonyoung tersenyum lebar dan kedua matanya menyipit, “Makin happy deh gue. Makasih loh, Seok?”

“Dah gih masuk rumah.”

“Besok sarapan bareng yuk?” Ajak Soonyoung

“Iya, nanti imess aja.”

Seokmin is happy to see Soonyoung happy, and he is also happy to spend time with him. He knows that he likes Soonyoung in a romantic way, but he is not sure if Soonyoung feels the same way. He decides to keep his feelings to himself for now, and just enjoy their friendship.

POV Seokmin.

Kalau ini mimpi, gue gak mau bangun. Siapa yang akan menyangka kalau setelah acara pernikahan Kak Han dan Kak Cheol gue yang tadinya akan pulang bersama Sejeong dan Abang–pacarnya malah duduk manis di mobil milik Kak Jisoo.

Tadi saat gue sedang menunggu Abang di lobby, tiba-tiba saja Kak Jisoo datang menghampiri gue dan Sejeong. Dia dengan Kaos putih dan celana jeansnya, terlihat simple memang sampai akhirnya gue melihat jam tangan yang harganya hampir ratusan juta di tangan kiri miliknya.

“Sejeong, Seokmin mau pulang ke kos?”

Sejeong melirik gue sekilas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan lelaki di depan kami, “Iya pak, bapak juga mau pulang kah atau ada acara lagi?” Gue tau sekali maksud perempuan disamping gue ini.

“Iya, saya mau pulang ke rumah. Kalian naik apa? Kalau naik taxi online lebih baik saya antar saja, sudah malam juga kan.”

“Saya dijemput pacar saya pak—” Sejeong melirik gue dan tersenyum jail sebelum melanjutkan ucapannya, “Nah Seokmin mau naik grab nih, tadi saya ajak pulang bareng pacar saya dia gak mau, takut ganggu katanya. Tapi saya khawatir banget sama dia pak.”

DEMI TUHAN. Sebelum gue menyanggah ucapan Sejeong barusan, Kak Jisoo sudah berbicara terlebih dahulu, “Seokmin bareng saya aja, mau?”

Sejeong mencubit bokong gue pelan–yang tandanya dia memaksa gue untuk mengiyakan tawaran barusan.

“Ngerepotin gak ya kak? Saya gak masalah sih naik grab.”

“Gak repot kok, gue ambil mobil dulu ya Seok. Tunggu disini aja. Oh iya, Sejeong pacarnya sudah dimana? Masih jauh kah?”

Sejeong menggelengkan kepalanya, “Udah deket kok pak, bapak sama Seokmin duluan aja.”

Setelah itu gue menaiki mobil Kak Jisoo dan berpamitan dengan Sejeong, “Pokoknya Seok, tanyain dia bakal balik kesana atau stay disini.”

Dan sekarang sudah 10 menit gue dan Kak Jisoo mengarungi ramainya jalanan Jakarta malam ini.

“Kos lo masih yang lama atau udah pindah?” Pertanyaan Kak Jisoo barusan memecahkan keheningan diantara kami.

“Udah pindah, gak jauh sih masih sekitaran kampus juga.”

“Kenapa pindah?”

“Diusir Ibu kos.”

Kak Jisoo tertawa mendengar jawaban gue barusan, “Gue nanya serius loh.”

“Ya itu jawaban serius kak, gue gak bercanda.”

“Loh? Diusir kenapa?”

“Dikira kumpul kebo.”

“Lo? Sama siapa?”

“Temen-temen.”

Lampu merah di depan mobil membuat Kak Jisoo dapat menatap gue yang sedaritadi menundukkan kepala, “Coba cerita, gue mau denger.”

Gue menghela nafas, “Jadi, lo taulah kak gue sahabatan ber6, gue, Mingyu, Hao, Seje, Chae, Uyo. Kita emang sering ngumpul bareng lah, nginep juga sering. Kadang gue nginep kos Seje atau Chae, kadang Uyo nginep kos gue atau Mingyu, ya kadang berdua gitu lawan jenis kan. Satu waktu, Uyo lagi di kos gue, nginep soalnya dia ada acara besok dan lebih deket dari kos gue, nah gue kalo tidur sama mereka berlima udah pasti satu kasur ya selain gue gak punya kasur lagi, kita berenam tuh udah saling percaya gak ada satu dari kita yang bakal ngelakuin hal aneh-aneh ke yang lainnya, orang kita tidur bareng dari jaman maba. Waktu Uyo nginep, ternyata ada si Ibu kosan lagi inspeksi atau apalah gatau, nah ketauanlah kita. Gue diusir, besoknya harus pindah. Uyo gak jadi dateng ke acaranya gara-gara bantuin gue pindah kosan.”

Kak Jisoo menganggukan kepalanya, “Sebelum malem itu, dia gak tau temen-temen lo sering nginep?”

“Tau kok, makanya aneh kan tiba-tiba diusir.”

“Mungkin dia suasana hatinya lagi gak baik.”

Gue mengangkat kedua bahu, “Au deh.”

“Kalau pacar kalian ada yang marah gak pas tau kalian sering nginep-nginep gitu?”

Gue mengernyitkan kening, ini si kakak modus nanyain gue punya pacar kah?

“Kebetulan gue gak ada pacar sih, jadi gak pernah ada masalah–” Kak Jisoo melirik gue setelah mendengar jawaban gue barusan.

“Kalau Sejeong sih sempet ada masalah.”

“Pacarnya Sejeong siapa sih?”

“Bang Changkyun, anak teknik. Dulu sempet jadi ketua BEM, sekarang dia udah lulus.”

“Oooh, dia cemburu?”

Gue menganggukan kepala, “Cemburu dan salah paham sih. Waktu itu dia masih pdkt-an lah sama Seje, nah pas Seje sakit gue sama Mingyu jagain Seje nginep lah soalnya demam tinggi takut anaknya kenapa-kenapa. Pagi-pagi sekitar jam 8 setengah 9an ada yang ngetok pintu kos Seje dan kita bertiga belum ada yang bangun jadilah Mingyu yang pertama bangun dan bukain pintu, karena Mingyu pikir itu Minghao sama Chae yang bakal gantian jagain Seje. Pas Mingyu buka pintu, yang berdiri di depan dia itu Abang bukan Minghao. Mingyu setengah sadar, si Abang udah kepalang cemburu ngeliat gue sama Seje tidur satu kasur berdua mana di sebelah kiri Seje ada kaya bekas orang tidur gitu loh, kasur kan kalo orang tidur pas bangun masih suka ada jejaknya ya kak? Nah itu masih ada jejak Mingyu. Didorong lah Mingyu—”

“Serius didorong?”

“Asli kak, tenagaAbang kan gede ya nah Mingyu juga baru bangun, oleng lah Mingyu, jatoh dia. Gue sama Seje langsung kebangun dong. Kaget lah kita, kayak kepergok selingkuh. Mingyu mau nonjok Abang tapi gue tahan duluan dengan nyawa yang setengah sadar.”

“Untung gak ditonjok ya.”

“Abang bukan tipe yang main fisik sih, untungnya ya kak. Sejeong disitu marah tapi kita juga kaya maklum soalnya gak sekali dua kali yang kayak gini kejadian di kita gak sekali dua kali tapi sering banget.”

“Udah sering?”

“Iya, 4 taun temenan kita. Gebetan ganti-ganti, pacar juga ganti. Banyak putusnya juga gara-gara cemburu. Yaudah deh dari situ kita ngobrol panjang lebar sama Abang. Abang ngira kita ngelecehin Seje gitu deh padahal enggak yaudah maafan. Abang bawa bubur 2 kan, akhirnya satu dimakan Seje, satu lagi gue sama Mingyu yang makan. Sampe sekarang, gue sama Mingyu masih takut sama Abang walaupun Abang udah minta maaf dan baik banget ke kita.”

“Wajar, dia pasti mau ngejaga Sejeong karena dia laki-laki dan tau gimana cara pikirnya laki-laki.”

“Iya makanya gue sama yang lain justru respect banget sama Abang.”

“Lo juga harus gitu, jaga perempuan.”

Gue menganggukan kepala, “Pasti.”

Dan tidak ada obrolan apapun lagi. Hanya suara radio yang mengisi keheningan diantara gue dan Kak Jisoo.

Sesampainya gue di kos, gue tidak berniat untuk turun dari mobil ini.

“Kamar lo yang mana?”

“Lantai 2, gak keliatan dari sini kak.”

“Oooh, ada cctv gak? Disini aman kan?”

“Aman kok.”

“Okedeh.”

Gue harus turun sekarang.

“Makasih ya kak udah anterin gue.”

“Sama-sama, gue seneng ketemu lo lagi. Lo gak berubah sama sekali.”

“Lo berubah jadi lebih dewasa.”

“Yaiya dong.”

“Kak, kalo gue tahan lo buat gak balik kesana gimana?”

Kak Jisoo tersenyum dan mengelus kepala gue dengan lembut, “Udah malem, istirahat sana besok kan ada kuliah.”

Tidak ada jawaban apapun tentang keinginan gue untuk menahannya pergi.

Pukul 06.35

Seokmin membuka mata dan melihat televisi di depannya yang masih menyala, ia mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

“Pokoknya besok lo harus terus sama gue!” Itu kata terakhir yang Seokmin ingat sebelum Sejeong tertidur lelap.

Seokmin melirik ke samping dan melihat Sejeong yang masih tertidur pulas. Iya, mereka sudah biasa tidur sekasur seperti ini dan tidak merasa canggung atau takut sama sekali. Sejeong, Chaeyeon atau Younjung pun tidak pernah merasa takut walaupun tidur hanya berdua dengan Seokmin, Mingyu maupun Minghao.

“Jeee, bangun. Mandiiiii!” Seokmin menggoyangkan tubuh Sejeong dengan cukup kencang.

“Mandi duluan ah, tar bangunin gue kalo udah mandi.”

“Ih lo kan mandinya lama.”

“Udaah lo duluan aja, lo kan harus wangi, ganteng dan berkarisma.”

“Ngelantur, anjinggg. Gue selesai mandi lo udah bangun ya!”

Sejeong menganggukan kepala sebagai jawaban untuk ucapan Seokmin barusan.

08.00

Seokmin dan Sejeong telat sejam dari perjanjiannya dengan Jeonghan. Ini karena Seokmin yang tiba-tiba sakit perut karena terlalu banyak makan semalam dan Sejeong yang juga mandi terlalu lama.

Sejeong dan Seokmin memasuki ruangan yang dimaksud oleh Jeonghan, ruangan untuk keluarga Jeonghan merias diri. Setelah berbincang dengan kedua orang tua Jeonghan dan beberapa saudara, giliran Seokmin dan Sejeong lah yang dirias.

“Seokmin ya?”

“Iya kak. Kok tau yaa?”

“Jeonghan nunjukin foto kamu, katanya untuk kamu harus spesial.”

Seokmin tersenyum malu mendengar ucapan MUA barusan, “Spesial apanya?” ucapnya dalam hati.

10.00

Serentetan acara pun dimulai, Sejeong yang terus mengikuti langkah Seokmin dengan harapan Seokmin dan Jisoo bertemu pun mulai lelah.

“Lapeerrrrrrr, resepsi jam 7 ya? Keluar dulu yuk cari makan!”

“Kemana ih? Balik ke kamar aja.”

“Di seberang ada lawson, ayo laah.”

“Pake baju ini?”

“Ya emang kenapa?”

“Kaya kawin lari tau gak?” Seokmin menunjukkan jas yang ia pakai dan gaun pink milik Sejeong

“Gapapa sih, lagian tuh kita didandanin lagi jam 5, santai aja dulu. Keluar cari angin sampe jam 4 juga gak masalah. Jangan di kamar mulu lah.”

“Lo kenapa gak mau kita di kamar mulu deh? Biasanya juga lo males keluar?”

“Curiga mulu, gue boseeenn. Ayolaaah!”

“Ada abang ya nungguin di luar?”

“Ngaco! Abang mah nanti jemput gue pas malem kali.”

“Nebenggg.”

“Gampang, asal ikut gue dulu. Ayo buruan.”

Yang tidak Seokmin tau adalah Sejeong yang tersenyum ke Jisoo yang berdiri jauh di belakang mereka.

Jisoo tersenyum melihat Seokmin yang mengerucutkan bibirnya dan ditarik keluar oleh Sejeong, “Kaya anak kecil aja.”

“Lucu ya?”

Jisoo melirik ke arah sumber suara, Jeonghan dengan senyum liciknya, “Samperin lah.”

“Nanti malem aja.”

“Mau lo bawa kabur kemana anaknya?”

“Gak gue bawa kabur, tenang aja.”

19.00

Seokmin dan Sejeong bergandengan tangan memasuki venue tersebut, ini ide Seokmin sebenarnya dan Sejeong hanya mengiyakan, “Apapun yang penting malem ini lo harus seneng-seneng.”

Setelah berfoto dengan Jeonghan dan Seungcheol, mereka berdua pun memutuskan untuk pisah mencari makanan kesukaan masing-masing dan berjanji untuk bertemu di tempat duduk yang disediakan.

Sebenarnya, Jeonghan ingin makanan diantar ke tempat para tamu undangan duduk tapi mengingat banyaknya kolega Seungcheol maka ia mengubur dalam-dalam keinginan tersebut.

“Mana tuh katanya gak boleh pisah, ngeliat zuppa soup langsung ninggalin.” Cibir Seokmin dengan mata yang tidak lepas mengikuti pergerakan Sejeong.

“Mungkin karena zuppa soup jarang ditemukan?”

Suara itu. Seokmin sudah hafal diluar kepala siapa pemilik suara barusan.

Seokmin memutar badannya dan melihat Jisoo yang sekarang berdiri tepat di depannya.

“KAK JISOO?”

Jisoo tersenyum manis, “Maju, giliran kamu tuh ambil es krimnya.”

Seokmin buru-buru mengambil es krim dan berjalan pelan.

“Udah makan nasi? Kok langsung es krim?”

Seokmin menganggukan kepala, “Tadi sore makan nasi sama Seje. Masih kenyang, abis ini aku mau ambil dimsum, kakak mau ikut?”

Jisoo tertawa pelan, “Katanya kenyang kok makan dimsum?”

“Dimsum kan snack, gak bikin kenyang. Mau enggak?”

“Abisin dulu es krimnya, Seok.”

Seokmin buru-buru menghabiskan es krimnya, “Kakak kapan sampe sini?”

“2 hari lalu.”

“Oooh.”

Seokmin diam walaupun banyak sekali pertanyaan dan pernyataan yang ingin diutarakan.

“Skripsi udah sampe mana, Seok?”

“Hari minggu tuh dilarang bawa-bawa skripsi dalam obrolan apapun.”

“Jadi bahas skripsi pas weekdays aja?”

Seokmin menganggukan kepala sebagai jawaban.

“Oke, pertanyaannya diganti. Seokmin apa kabar?”

“Gini-gini aja, kak. Lo gimana disana?”

“Gue ya kayak yang lo liat aja, Cil.”

CIL. CIL CIL

Seokmin tersenyum mendengar panggilan barusan. Cil. Cil-nya Jisoo.

“Terus balik kesana kapan?”

“Pengen gue cepet balik kesana?'

“Enggaklah!”

“Minggu depan, kayaknya. Kebetulan gue balik kesini jadi sekalian ngelarin beberapa urusan disini.”

“Ooh gitu.”

“Kalo lulus mau kemana?”

“Mau ikut lo boleh gak?” Oke, itu adalah ucapan yang tidak keluar dari mulut Seokmin.

“Udah dapet orang dalem di perusahaan Kak Cheol.”

“Parah, nepotism ini.”

“Enak aja!”

Jisoo tertawa, “S2 lah di Singapore. Mau enggak?”

“Gimana kerjaan disini, Soo?” Tanya Seungcheol–yang sebenarnya basa-basi saja. Karena Seungcheol pun cukup tau dengan pekerjaan Jisoo disini.

“Yaaa lo tau lah, Cheol. Gini-gini aja.”

“Yang perusahaan kemarin tuh, anaknya perusahaan lo. Beneran bangkrut?”

“Hampir, untung dibantu laah. Panjang banget ceritanya, kapan-kapan gue cerita deh. Pusing gue ngurusinnya.”

“Enough with obrolan pekerjaan dong, guys! Kita kan mau temu kangen.” Jeonghan angkat bicara karena sejujurnya bukan itu tujuan dia dan Seungcheol jauh-jauh datang ke Singapore.

“Okay, persiapan wedding kalian sampai mana?” Tanya Jisoo setelah menyuap sushi ke dalam mulutnya.

“70% lah, oh iya cincin yang gue titip udah ada di lo?” Iya, Jeonghan dan Seungcheol meminta tolong kepada Jisoo untuk mencarikan cincin pernikahan mereka, karena Jeonghan tidak menemukan yang diinginkannya di Indonesia.

“Temen gue dapet tuh model cincin yang lo mau, di US. Next week dia bawa kesini kok.”

“Great! Bawa ke Indonesia pas gue mau nikah ya, gue gak terima dalam bentuk paket!” Jeonghan menepuk tangan Jisoo pelan.

“Thank you, Soo.” Ucap Seungcheol.

“Jadi maksudnya gue harus dateng nih ke wedding kalian?”

“Oh jadi lo gak berniat dateng ke pernikahan sahabat lo nih?” Tanya Jeonghan

“Ayolah, Soo. Kita temenan udah bertahun-tahun loh.” Tambah Seungcheol.

“Di undangan lo tuh tulisannya ada +1, mau bawa siapa coba gue?”

“Lo disini belum ada, Soo?” Tanya Jeonghan. Akhirnya Jeonghan dapat bertanya langsung ke Jisoo tentang statusnya sekarang.

“Loh yang kemaren lo cerita itu, Soo? Gak jadi?” Tanya Seungcheol.

Jeonghan melirik Jisoo dan Seungcheol bergantian, “Cuma gue doang yang gak tau nih?”

“Aku lupa mau cerita ke kamu.” Jawab Seungcheol sambil mengelus lembut tangan Jeonghan.

“Okay, jadi gini Han. Bulan lalu, gue lagi main golf sama bos gue, nah disitu dia set up jadwal gue dan anaknya ngedate. Jadi seminggu setelah main golf, gue dinner sama anaknya. Perempuan, cantik. Lebih muda 6 tahun dari gue, katanya sih penerus bokapnya ini. Ngobrol cukup panjang, emang nyambung juga. Cuma ya yaudah, gue gak tertarik sama dia. Obrolan kita cuma seputar perusahaan dan kerjaan aja, diluar itu kita gak nyambung dan gak cocok sama sekali.”

“6 tahun ya dibawah kita, I see.”

“Iya, tapi ya karena golden spoon kali ya. Jadi dia tuh gak bisa hemat dan ya lo tau lah seberapa susah gue dulu. Ngeliat dia hamburin uang yang padahal bukan masalah gue tuh kaya gimana ya, gak cocok aja. Barang branded dari ujung kepala sampe ujung kaki bikin gue mual.”

Jeonghan memutar bola matanya, “LO NYINDIR GUE YAAA?”

“Dikit.”

“Shut up.”

“Gak usah bawa +1 kok, itu Jeonghan bercanda aja. Yang penting lo dateng.” Seungcheol angkat bicara.

“Betul, lagian gue juga ada +1 buat lo.” Celetuk Jeonghan dengan senyuman tipis.

“Oh God, gue gak mau ya di jodohin sama temen sosialita lo.” Tolak Jisoo—mengingat beberapa tahun lalu Jeonghan sempat mengatur blind date untuknya.

“Enggak! Yang ini lo kenal kok.”

Jisoo mengerutkan keningnya, “Gue kenal? Siapa?”

“Ada deh, jadi please dateng yaaa? Buat gue sama Cheol?”

“Okay. Untuk lo sama Cheol.”

Sekarang pukul 2 pagi dan gue berdiri di depan pintu rumah menunggu Chanhee menjemput gue dan kali ini gue menggunakan baju hitam dan celana hitam yang gue sembarang ambil entah motif atau ada tulisan apa di baju ini gue gak peduli, gue hanya ingin cepat sampai ke rumah Seokmin.

Tiiin

“Kak, ayo.”

Gue baru saja meninggalkan rumah Seokmin mungkin 6-7 jam yang lalu, setelah gue berpamitan ke ibu dan adik Seokmin malam itu. Sekarang gue disini lagi, bukan untuk memasak dan bercanda bersama ibu seperti tadi siang ataupun menemani Seokmin mengambil baju futsal seperti beberapa hari lalu.

Gue melihat sekeliling rumah, ada bendera kuning dimana-mana. Banyak orang berlalu lalang yang entah gue pun tidak kenal mereka siapa. Gue berharap ada Seokmin diantara puluhan orang yang ada disekitar gue sekarang.

“Kak, ibu di dalem. Ayo gue anter.” Hyunjae menarik tangan gue dengan pelan dan Chanhee yang tidak berhenti mengelus punggung gue.

Begitu gue menginjakkan kaki di dalam rumah, gue dapat melihat Sunwoo dan Ican yang duduk disamping Ibu, keduanya menangis dengan memeluk Ibu. Ibu menangis diantara kedua anaknya dengan tangan mengelus punggung Sunwoo dan Ican–menyalurkan kehangatan yang gue yakini sangat mereka butuhkan sekarang.

Gue berjalan pelan dan duduk di depan Ibu, “Ibu, maaf.”

Ibu tersenyum dan mengajak gue kedalam pelukannya, “Gak perlu minta maaf, nak. Bukan salah kamu.”

Gue hanya menangis di pelukan Ibu, bersama kedua adiknya. Ibu di tengah kami terus mengucapkan “Ikhlas nak, ikhlas.” Yang sangat gue yakini bahwa Ibu mengucapkan itu juga bentuk penguatan untuk dirinya sendiri.

“Ibu, Aa udah gak ada bu, Ican harus gimana bu?”

“Bu, dada Sunwoo sakit.”

“Doain Aa ya, Ican, Nu?”

“Jisoo, maafin Seokmin ya nak kalau ada salah. Ikhlasin ya nak?”

Gue hanya mengangguk ditengah pelukan Ibu, gue tidak punya energi untuk mengeluarkan sepatah katapun.

Setelah melepaskan pelukan, gue berniat mencari Hyunjae dan mendengar cerita bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini.

“Tadi gue ditelfon bang Bobby kak. Sekitar jam 1an, dia bilang Seokmin udah hilang dari pukul 11 malem dan emang dia langsung cari bala bantuan. Pencarian juga dilakuin sekitar kurang lebih 2 atau 3 jam. Begitu tubuh Seokmin ketemu, mereka bilang ke bang Bobby kalau Seokmin udah gak bernyawa. Kemungkinan besar jatuh. Bang Bobby bilang Seokmin yang maksa buat cari air tengah malem gitu. Bang Bobby dan Seokmin udah di perjalanan daritadi kok. Mungkin jam 8/9 mereka sampai disini.”

Oh God.

Gue tidak siap melihat tubuh Seokmin yang terbaring kaku. Gue tidak tau harus apa sekarang.

“Ikhlasin ya, kak.”

Gue hanya duduk disana, ditengah orang-orang yang berlalu lalang mempersiapkan apapun itu. Gue bahkan tidak punya kekuatan untuk berdiri.

“Jisoo, lo gapapa?” Jeonghan berlari dan menarik gue kedalam pelukannya.

“Ikhlasin ya, Soo.” Cheol memeluk gue.

“Kak, gue tau susah buat ikhlas. Tapi usahain ya kak? Banyak berdoa buat Seokmin.” Ucap Wonwoo.

Gue hanya mengangguk pelan.

“Udah makan?” Tanya Jeonghan dan gue menggelengkan kepala sebagai jawabannya.

“Gue beliin bubur ya?”

“Gak laper.”

“Makan, Soo. Lo mau nganter Seokmin ke tempat terakhirnya kan? Makan dulu.”

Gue menggeleng setelah mendengar ucapan Seungcheol, “Gak nafsu, Cheol.”

“Gue suapin. Ayo 3 suap aja.” Jeonghan menyendokkan nasi kotak yang memang disediakan disini.

“Jam berapa?”

“Jam 8. Bentar lagi, Soo.”

Gue melihat sekeliling, ada teman SMA Seokmin yang kemarin gue temui. Ada Mingyu dan Minghao juga diujung sana.

“Seokmin, kamu disayang banyak orang.”

Gue dapat melihat Hyunjae yang mengobrol dengan lelaki tua didepan pagar. Hyunjae menghalangi badan lelaki itu untuk masuk.

“Saya udah bilang, bapak gak boleh masuk. Paham gak?” Suara Hyunjae meninggi.

“Saya bapaknya Seokmin! Memang salah kalau saya mau ketemu anak saya?”

“Gak salah. Tapi permintaan keluarga dan Seokmin untuk melarang bapak masuk selangkah pun ke rumah ini! Pergi sekarang atau saya seret anda keluar!” Hyunjae membentak Ayah Seokmin.

“Je, udah.” Chanhee disebelahnya menahan Hyunjae untuk tidak tersulut emosi. Dan gue bisa melihat beberapa teman SMA Seokmin menarik Ayah Seokmin untuk pergi dari rumah ini.

Dan tepat pukul 9, Bobby datang dengan mobil ambulans. Gue mencoba untuk berdiri. Rasanya kaki seperti jelly bahkan gue tidak sanggup untuk melihat lurus kedepan.

Setelah berbagai macam acara, akhirnya Seokmin ditaruh di peti.

Gue ingin melihat Seokmin untuk terakhir kalinya.

“Gue pegangin. Ayo gue anter ke Seokmin.” Jeonghan memapah gue dan mengantar gue ke samping peti.

Gue melihat Seokmin yang tersenyum, senyum menenangkan yang menyiratkan bahwa ia tenang disana.

“Seokmin, kamu janji mau ajak aku keliling kota, ke tempat yang kita sering kunjungin dulu. Kamu juga janji mau ngomong serius kan ke aku. Mana Seokmin janjinya?”

Gue menarik nafas, air mata terus turun.

“Kemarin aku belajar masak sama Ibu, aku belajar masak Soto Betawi kesukaan kamu. Kamu belum cobain kan? Bangun, Seok. Aku mohon.”

“Jangan tinggalin aku, aku harus apa sekarang gak ada kamu, Seok?”


1 weeks later

Lagi-lagi gue disini, di makam Seokmin. Setiap hari semenjak Seokmin dimakamkan, gue tidak pernah absen untuk datang kesini. Kadang gue bercerita tentang hari yang gue lalui tapi gue lebih banyak diam, mendoakan orang yang paling gue sayang.

“Aku bawain ropang, eh apa rotpang? Roti panggang lah pokoknya kesukaan kamu, tapi gak beli di warkop biasa sih kali ini aku yang bikin hehehe.”

“Kemarin aku ke rumah tauu, masak-masak sama Ibu. Kamu iri kan pasti?”

Angin sejuk berhembus dan gue yakin Seokmin ada disini, mendengarkan cerita gue.

“Aku kangen Seok. Kangen banget.” Kali ini anginnya cukup kencang, membuat rambut gue cukup berantakan. Mungkin Seokmin yang mengacak rambut gue?

“Besok aku kesini lagi yaaaa, bawa apa nih enaknya? Oh aku tau! Bawa nasi goreng yang aku masak ah, kan kamu udah coba tuh waktu di apart aku. Nanti aku bawain lagi yaaaa. Kamu yang tenang disana. Aku disini baik-baik aja. Ibu, Ican, Sunwoo semua lagi berusaha pulih lagi tapi jangan khawatir, aku bakal bantu mereka kok. Hyunjae jugaaa sering ke rumah kamu, biasanya bareng Eric tuh sekalian Sunwoo pacaran. Adek kamu genit ya.”

“Aku pamit ya, Seokmin. Dadah.”

Pov Jisoo.

Hari ini gue seneng banget. Kapan ya terakhir kali gue seseneng ini? Kayaknya waktu gue masih pacaran sama mantan gue (yang turns out dia brengsek banget). Gue tau kok gak sedikit dari kalian yang mencaci maki kebodohan gue, gue yang sekarang pun akan ikut mencaci maki Jisoo di masa lalu. Alasan kenapa gue dulu mempertahankan mantan gue adalah sesimpel karena dia yang selalu ada untuk gue yang yaaa padahal bare minimum gak sih? Hahaha.

Oke kita lanjut dengan alasan kenapa hari ini gue seneng banget. Gue mengawali hari dengan sarapan bersama Seokmin dan sepertinya kegiatan sarapan berdua ini akan sering kami lakukan (gue berharap ini menjadi rutinitas kami) karena akhirnya gue dan Seokmin sudah di tahap berteman lagi setelah drama panjang yang kami lalui. Setelah sarapan dengan si dia, gue melanjuti hari dengan mengikuti kelas bersama dua sahabat gue; Jeonghan dan Seungcheol dan tentunya kita bertiga makan siang bersama lagi (tidak lupa dengan Wonwoo yang sudah pasti mengikuti kemanapun Cheol pergi). Selesai kelas, gue dijemput lagi oleh si dia yang tadi pagi mengantar gue ke kampus setelah kami sarapan. Si dia memakai kaos hitam yang dibalut dengan kemeja dan celana jeans kesukaannya. Si dia melambaikan tangannya setelah mata kami bertatapan dan tidak lupa dengan senyuman manis di bibirnya.

“Jadi?” Tanyanya sambil memakaikan helm di kepala gue.

“Jadi tapi Han masih nungguin cowoknya tuh.”

“Emang mau kemana sih?”

“Ada deeeeeh. Pokoknya lo tinggal ikutin jalan yang gue arahin.”

“Oke siap tuan. Kak Han suruh kesini aja daripada sendirian.”

Gue pun langsung memanggil Han dan menyuruhnya bergabung bersama gue dan Seokmin.

“Eh kalian langsung kesana aja, cari meja yang kosong.”

“Lo gapapa sendirian, Han?”

“Bentar lagi juga dia sampe. Udah sana buruan keburu mejanya penuh.”

Dengan dorongan dan paksaan Han, akhirnya gue dan Seokmin pergi ke tempat makan yang biasa gue dan Han datangi dulu. Sebenernya tempat makannya cuma mie ayam yang ada di salah satu toko pinggir jalan di Margonda yang sering kali gue dan Han datangi sejak zaman gue dan Han masih menjadi mahasiswa baru.

“Lah inimah gue pernah kesini.”

“Sama siapa Seok?”

“Temen gue tuh si Minghao. Gak kenal dah lu mah.”

Oke cuma Minghao bukan perempuan atau gebetan Seokmin.

“Gebetannya kak Han siapa?”

“Ada deeh, anak hukum. Udah lulus kemarin dan emang ngejar Han dari jaman maba cuma gak dapet lampu hijau mulu dari Cheol.”

“Sekarang udah?”

“Yaaa udah lah. Udah sejauh ini.”

“Gak sia-sia tuh nunggu bertahun-tahun.”

“Iya.”

Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, Han dan Sangyeon—gebetannya Han akhirnya datang juga. Gue dapat melihat puppy eyes di mata Sangyeon setiap kali ia mengobrol dengan Han. Han pun masih malu-malu tiap kali Seokmin meledeknya.

“Seokmin, sekali lagi lo ledekin gue, gak gue kasih restu ya lo sama Jisoo!”

Gue yang mendengar ucapan barusan hanya mengerutkan kedua alis–sedikit bingung. Memangnya Seokmin masih menyukai gue?

“Parah ancamannya gitu. Bang, lo yakin mau sama Kak Han yang galak ini?”

Gue melihat Sangyeon yang hanya tertawa sambil mengelus rambut Han dan Han yang melirik sinis kearah Seokmin.

Hari ini gue bahagia karena akhirnya gue kembali menjadi Jisoo yang dulu sebelum gue berpacaran dengan mantan gue itu. Tentunya gue pun lebih bahagia karena seharian ini bersama orang yang gue sayangi.

“Seokmin...”

“Iya sayang?”

“Aku bener-bener minta maaf gak langsung bilang ke kamu.”

“Iya, Jisoo. Gak apa-apa.”

“Aa enggak marah?”

“Kemarin iya.”

“Sekarang?”

“Udah enggak marah.”

“Bener?”

“Iya. Kemarin setelah aku bilang kalo aku butuh waktu, tau gak yang aku lakuin apa? Aku liatin foto kamu di galeri handphone aku terus liat instagram aku, instagram kamu yang ada foto kita berdua. Aku mikir 'Kalo mantannya gak kuliah di US, gue sama Jisoo pacaran gak ya?' aku liatin akun instagram kamu lamaaa banget, aku baca terus caption di foto kita berdua yang kamu post, disitu aku langsung sadar 'Oh iya, Jisoo sekarang punya gue.' dan pedenya aku mikir kamu sayangnya sama aku doang kaya aku ke kamu ini. Pede banget ya Soo? Ya abisnya gimana, itu kaya senjata aku buat gak insecure sama mantan kamu aja. Aku jadi nyesel sempet marah sama kamu, takut kamu nangis disini tapi akunya masih disana juga. Jadi aku beliin kue favorite kamu deh hehe. Maafin ya?”

“Seokmin, aku sayang banget sama kamu.”

“Iya, aku juga kok.”

Kalau rumah berkaitan dengan pulang, maka malam itu Seokmin memilih pulang ke rumahnya, dimana ada Jisoo didalamnya.

Ketika gue mendengar lagu Pamungkas yang berjudul I love you but i’m letting go hal pertama yang terlintas di kepala gue adalah “bodoh”. Karena menurut gue, ketika lo mencintai seseorang lo akan melakukan apapun untuknya selain membiarkan dia pergi.

Pertama kali gue bertemu Jisoo adalah waktu gue duduk di bangku kelas 8 dan dia sudah menjadi anak SMA. Waktu itu gue sedang di warung depan sekolah Ican karena waktu itu gue bertugas untuk menjemput adik gue itu, secara tidak sengaja melihat ada seorang lelaki lengkap dengan seragam putih abu-abunya sedang memberi makan kucing liar dan ya sama seperti kisah yang sangat clichè– gue jatuh cinta pada pandangan pertama dengan lelaki tersebut. Tapi sayangnya pada waktu itu gue tidak mempunyai keberanian untuk mengajaknya berkenalan jadi gue diam-diam berdoa semoga gue dipertemukan kembali dengan lelaki manis itu.

Oke-oke, pertemuan kedua kami adalah saat gue menghadiri acara pensi sekolah yang ternyata adalah sekolah Jisoo. Gue yang saat itu datang karena dikasih tiket gratis dari Hyunjae– sahabat gue dari sejak kami berdua duduk di bangku sekolah dasar dan tentunya Hyunjae memaksa gue untuk datang karena dia sedang dalam masa ‘pendekatan’ dengan salah satu siswa di sekolah itu. Gue masih ingat waktu gue memutuskan untuk memisahkan diri dari Hyunjae dan gebetannya itu karena gue sudah malas melihat Hyunjae berpura-pura menjadi ‘kucing’ di depan gebetannya dan gue memilih untuk membeli minuman dingin di salah satu stand minuman yang ternyata milik osis sekolah tersebut. Mungkin kalian sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, ya betul Jisoo lah yang sedang menjaga stand minuman dingin tersebut. Percakapan kami kira-kira begini,

“Beli es tehnya 1 ya kak.”

“Kak? Gue masih kelas 10.” gue masih ingat raut bingung di wajahnya.

“Gue kelas 8.”

Jisoo membulatkan bibirnya, “oooooh, hehehe sorry kirain anak SMA sini.”

Gue tidak menjawab lagi dan hanya mengambil minuman dingin dan pergi dari stand minuman itu. Iya, gue bodoh karena tidak mengajaknya berkenalan tapi sumpah demi Tuhan sampai detik ini gue masih ingat wangi vanila yang tercium ketika gue berdiri di depannya dan membuat gue hampir gila. Pada waktu band sekolah SMA itu sedang tampil diatas panggung gue memilih untuk duduk di bawah pohon yang lumayan jauh dari panggung karena jujur saja gue sama sekali tidak tertarik dengan band yang berisikan anak SMA sok keren– yang gue tidak tau waktu itu adalah saat gue duduk di bangku SMA gue ternyata menjadi salah satu anggota band.

“Lo anak SMP yang tadi ya?” Betul sekali tebakan kalian, yang baru saja bertanya adalah Jisoo.

“Eh? Iya kak.” ini cukup memalukan, karena gue bisa mendengar suara gue yang seperti orang yang ketahuan mencuri.

“Sorry sorry, gue ngagetin ya?”

“Dikit.”

“Jadi lo disini ngapain? Nemenin kakak lo?” gue bisa mendengar nada sedikit sarkas dari mulutnya, (ketika gue berpacaran, gue sempat bertanya tentang hal ini kepada Jisoo dan dia menyanggah asumsi gue, “Aku gak sarkas ya! Aku beneran nanya!”)

“Gue anak pertama.”

“Hah?”

“Ya jadi gue gak mungkin nemenin kakak gue dong?”

“Oooh, gebetan?”

“Temen gue, dia ada gebetannya disini.”

“Oh ya? Siapa tuh?”

“Kepo deh lo kak.”

“Sorry sorry.”

Gue mulai menimang-nimang apakah gue harus mengajak lelaki yang berdiri disebelah gue ini untuk berkenalan atau tidak.

“Seokmin.”

“Hah?”

“Nama gue Seokmin, nama lo?”

“Oh ngajak kenalan?” Dia tertawa kecil, “Nama gue Jisoo.”

“Oke, kak Jisoo.”

“Oke Seokmin.”

Hening.

Kalau minta nomor handphone kecepetan gak ya? Apa nanti gue kesannya kayak bocah ingusan yang pengen deketin anak SMA? Ah bodo amat sama pikiran dia.

“Gue boleh minta nomor hp lo gak?”

“Lo naksir gue ya?”

Dih?

“Lo kali yang naksir gue kak?”

Jisoo tertawa kecil, “No hahaha, tapi lo sedikit menarik perhatian gue sih.”

Gue cukup terkejut dengan ucapan yang keluar dari seseorang yang baru banget gue kenal.

“Oke? Jadi nomer lo berapa?”

Dari situlah gue mulai melancarkan aksi pedekate gue, ya tentunya enggak semulus itu sih apalagi gue harus bertemu dengan kedua orang tuanya dan mereka memandang gue seperti anak SD. Butuh beberapa waktu untuk gue akhirnya bisa menjadi pacar Jisoo dan butuh waktu yang sangat lama untuk gue membuktikan ke orang tua Jisoo kalau gue bisa diandalkan.

Hubungan gue dan Jisoo berjalan mulus, sangat mulus. Kami jarang bertengkar. Masa-masa gue berpacaran dengan Jisoo adalah masa-masa paling indah di hidup gue.

“Mama cariin kamu tau, Seok.”

“Eh kenapa? Aku buat salah kak?”

“Kamu semenjak masuk futsal jarang ke rumah tau, mama kira kita putus.”

“Nanti aku kerumah ya.”

Entah sejak kapan, gue mulai dekat dengan keluarga pacar gue itu. Malah gue lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga Jisoo dibandingkan keluarga gue sendiri. Alasannya karena gue suka dengan suasana hangat di rumah Jisoo, gue nyaman dengan keluarga Jisoo yang sangat harmonis dan sangat berbeda dengan keluarga gue.

“A, Ayah di rumah. Ican harus gimana?” SMS yang masuk di handphone gue tiap kali lelaki tua itu pulang ke rumah.

“A, Ibu ditonjokin Ayah, a Ican udah halangin Ayah tapi A Ican malah kena tonjok, Nu takut. Aa dimana?” SMS lain yang membuat gue marah membacanya.

Tiap kali lelaki tua itu pulang, akan ada memar di badan gue, Ican bahkan Ibu. Gue bahkan tidak sudi memanggilnya dengan sebutan “Ayah”, bagi gue dia tidak pantas mendapat panggilan “Ayah”.

Tentunya Jisoo tidak pernah tau tentang keluarga gue yang sangat berantakan ini, gue menutup rapat-rapat hal ini dari dia yang gue sayangi itu. Bukan, bukan karena gue tidak percaya dengan Jisoo tapi karena gue sudah mengenal dia luar dalam dan gue tau kalau gue cerita tentang ini ke Jisoo, dia akan membantu gue dan gue gak mau merepotkannya dengan urusan keluarga gue.

Puncaknya adalah ketika lelaki tua itu ditangkap oleh polisi dengan kasus narkoba–bukan, dia bukan pemakai melainkan bandar. Gue sama sekali tidak paham, bukannya kalau bandar seharusnya dia memiliki banyak uang? Kenapa dia tidak pernah memberikan kami sepeserpun? Untuk apa uangnya? Judi? Mabuk-mabukan? Gue tau lelaki tua ini bekerja sesuka hatinya dan Ibu lah yang mencari uang untuk anak-anaknya sekolah tapi menjadi bandar narkoba adalah hal yang tidak pernah terpikirkan di otak gue.

“Je, sorry banget boleh gak malem ini Sunwoo tidur di rumah lo dulu?”

“Eh? Kenapa Seok? Boleh aja sih, nanti gue jemput Eric ke sekolah sekalian aja ya Sunwoo gue bawa ke rumah.”

“Makasih banyak Je, pusing banget gue.”

“Kenapa Seok?”

“Bandar.”

“Hah?”

“Ada polisi di rumah cari bokap gue, dia ternyata bandar. Anjing lah.”

“Lo gapapa? Ican nginep sini aja, nanti dia pulang gue jemput.”

“Gak usah, gue udah suruh dia nginep rumah temennya. Titip Sunwoo ya, nanti gue anter bajunya ke rumah lo. Maaf ngerepotin ya Je.”

“Enggak repot kok, lo jaga diri ya Seok. Jagain Ibu tuh, kalo ada apa-apa telpon gue.”

“Iya, thanks ya Je.”

Malam itu ketika lelaki tua ditangkap, Ibu menangis semaleman dan gue ikut menangis disebelahnya–tentunya bukan karena gue sedih dia ditangkap melainkan karena gue melihat Ibu menangis menyalahkan dirinya sendiri.

“Gapapa bu, Ibu masih punya Seokmin. Maafin Seokmin ya bu.”

Awalnya gue tidak mau memberitahu kejadian malam itu ke adik-adik gue tetapi disatu sisi gue merasa bahwa tidak adil kalau mereka tidak tau yang sebenarnya. Jadi 2 hari setelah mereka menginap di rumah temannya, mereka memaksa gue untuk mengizinkan mereka pulang ke rumah dan saat itulah gue menceritakan kejadian malam itu kepada kedua adik gue.

“A, lo harusnya gak usir gue sama Sunwoo. Harusnya gue disini sama lo, sama Ibu.”

“A maafin Nu ya, Nu gak tau aa harus ngelewatin ini semua sendirian.”

Malam itu kami bertiga berpelukan dan menangis sepanjang malam.

Gue kira masalah gue berhenti sampai situ. Melalui persidangan, lelaki tua itu dikenakan denda ratusan juta rupiah. Uang darimana? Dia bahkan tidak mempunyai tabungan barang sepeserpun. Ibu mulai mencari pinjaman, gue memutar otak bagaimana caranya mendapat ratusan juta dalam satu waktu? Pesugihan? Mana mungkin.

“A, kalau Ibu jual rumah ini gimana?”

“Kita tinggal dimana bu?”

“Ngontrak gapapa ya a? Kita cari kontrakan yang gak jauh dari sekolah kamu sama adik-adik.”

Mungkin ini adalah langkah yang tepat, selain kami bisa mendapat uang yang lumayan banyak dari menjual rumah kami juga dapat meninggalkan banyak memori menyakitkan yang ada di rumah ini.

“Iya bu, Aa bantu cari kontrakan ya? Kita gak usah cerita ke Ican sama Nu dulu, Aa bantu kerja ya bu.”

Gue sibuk mencari uang sepulang sekolah dan menjemput adik-adik gue di sekolahnya sebelum pulang ke kontrakan kami yang jaraknya cukup jauh. Gue sibuk dengan keluarga sampai gue lupa bahwa gue memiliki Jisoo di hidup gue.

“Kak, kita putus aja ya?”

Itu adalah kalimat pertama yang gue keluarkan setelah kami tidak bertemu beberapa bulan belakangan.

“Gila ya lo Seok?”

“Kak, gue gak bisa bagi waktu. Hidup gue lagi berantakan kak.”

“Justru itu Seok, hidup lo lagi berantakan dan gue sebagai pacar lo gak tau sama sekali tentang itu? Sampai sekarang pun lo gak mau cerita, pacar lo itu gue atau Hyunjae sih?”

“Gue gak mau narik lo ke dalam masalah gue, itu kenapa gue gak pernah cerita ke lo. Udah ya kak, lo belajar yang bener biar masuk kuliah di tempat impian lo.”

“Lo jahat asli.”

“Iya tau kok, jaga diri ya kak? Jangan telat makan.” Ucap gue dan itu adalah hari terakhir gue bertemu dengannya.

Seperti kalimat dari buku yang pernah gue baca,

Of all the things I have done in the name of love, walking away from you was the most loving thing that I did. For the both of us.

Karena gue sangat menyayangi Jisoo, gue tidak mau menarik dia kedalam kesedihan gue. Gue hanya ingin membuatnya senang dan melihat dia tertawa. Itu saja.

20.00

Suasana di apart Seungcheol berbeda dari biasanya, Jeonghan yang memilih duduk diatas karpet dan enggan duduk disamping Jisoo.

“Kalian kenapasih?”

Jeonghan mendengus kesal, “lo tau kan cheol gue benci banget sama orang yang selingkuh?”

“GUE GAK SELINGKUH, YOON JEONGHAN.” Jisoo membela dirinya, karena bagaimanapun juga dia tidak berselingkuh sama sekali.

“Jisoo, jangan teriak.” Seungcheol menengahi dengan tangan menarik Jisoo untuk kembali duduk, “lanjut, han.”

“Tadi pagi gue ke kosnya Jisoo dan dia gak ada di kamarnya.” Jeonghan berbicara tanpa menatap kedua orang didepannya, ia memilih untuk memainkan kukunya.

“Dan setelah gue telfon berkali-kali akhirnya dia angkat telfon gue. Lo tau dia tidur dimana? Di kosnya Seokmin. Mantan dia.”

“Soo?” Seungcheol menatap mata Jisoo dan meminta jawaban.

“Iya itu bener.”

“See? Lo selingkuh Hong Jisoo.”

“Dengerin dulu, oke? Setelah gue cerita ini terserah lo deh mau anggep gue selingkuh atau enggak.”

“Cerita, Soo.”

Jisoo menarik nafas dalam-dalam, dia mana tahu kalau acara makan malamnya dengan Seokmin akan membawanya kesini. Diinterogasi dan dicap sebagai tukang selingkuh oleh sahabat baiknya.

“Semalem setelah balik dari kampus, gue dan Seokmin makan malem berdua. Seokmin yang ajak dan gue mengiyakan karena ya gue mikirnya gue gak selingkuh, ini pure sebagai temen yang ajak makan malem berdua. Setelah makan gue sama dia keliling kota untuk cari angin sekalian ngobrol karena kita udah lama banget gak ada waktu buat ngobrol berdua. Terus jam 12 gue sampe di kos dan gue langsung masuk kamar. Sekitar jam setengah 2 gue denger suara gitar dan setelah gue cek yang main gitar itu Seokmin. Karena gue kebangun dan gak bisa tidur lagi, gue memutuskan ke kamar dia mau denger dia nyanyi. Gataunya gue ketiduran. Seokmin gak bangunin ya karena dia gak enak sama gue. Gue bener-bener gak ada maksud lebih. Pikiran buat selingkuh aja gak ada.”

Tentu saja semua yang dikatakan Jisoo barusan benar adanya. Tidak dilebih-lebihkan tapi tentu saja ada beberapa hal yang tidak diceritakan kepada dua sahabatnya. Seperti fakta bahwa Jisoo lah yang mengajak Seokmin untuk keliling kota dan dia diam-diam mematikan handphonenya agar tidak ada yang mengganggu waktu mereka.

“Udah gitu aja Soo? Gak ada kontak fisik?”

“Kontak fisik gimana? Dia meluk gue atau sebaliknya? Gila kali lo?”

Bohong. Tentunya banyak kontak fisik diantara mereka, seperti Seokmin yang secara tidak sadar memegang tangan Jisoo saat akan menyebrang atau Jisoo yang secara gamblang merapihkan baju Seokmin yang berantakan atau saat Seokmin yang mengelus rambut Jisoo dengan alasan rambutnya berantakan karena helm yang dipakai.

“Oke gue percaya sama lo. Han? Lo percaya kan sama Jisoo?”

Alih-alih menjawab dengan suara, Jeonghan hanya menganggukan kepala. Walaupun sebenarnya Jeonghan tidak 100% percaya dengan ucapan Jisoo.

“Oke. Kelar kan?” Seungcheol melirik kedua sahabatnya, “lo berdua pelukan deh biar gak makin tegang.”